Sabtu, 28 Januari 2017

BAB I

            BLOG TO BOOK 2017
            BAB 1


          Pemuda berkemeja kotak-kotak warna abu-abu dengan  ransel tersampir di pundak, melangkah masuk dengan muka dingin.  Langkahnya panjang-panjang dan cepat, seolah sedang melintasi jalanan yang diguyur hujan deras.  Begitu terburu-buru.   Namun  kemudian di tengah-tengah ruangan,  langkahnya tiba-tiba terhenti.  Dia mematung beberapa detik, menoleh ke kiri sebelum melayangkan pandangan ke separuh ruangan.
Menyadari berpasang-pasang mata memandangnya dengan sorot mata bertanya-tanya,  dia   melempar senyum sekilas, lalu terlontarlah sapaan irit yang hanya berupa “halo”.   Ya, cuma itu keluar dari bibirnya.  Lalu rahangnya tampak mengeras.  Untuk beberapa saat, waktu seolah berhenti, dan  semua yang ada membeku.  Lengang melingkupi ruangan.
Empat detik...lima detik.... enam detik.... hingga.....
“Maaf, Mas  mencari siapa?”
Akhirnya, ya pada akhirnya, seorang perempuan paling senior di ruangan itu, Bu Shinta, tersentak berdiri dan bertanya.
“Oh, Saya Rey. Mau bertemu Ibu Dyah,”
Cukup menyebut namanya, lalu  hampir semua orang yang saat itu  tengah tertuju padanya, seketika paham.
“Oh,  Mas Rey.  Ibu Dyah ada di ruangannya.  Mari Saya antar,” ujar Bu Shinta.
Pemuda itu,  Rey,  mengangguk. Dia baru saja akan berjalan mengikuti Bu Shinta, ketika kemudian perempuan berkaca mata itu berbalik.
“Sebentar, mungkin mbak Ruby bisa mengantar ke dalam,” ujar Bu Shinta. “Mbak Ruby!”
Ruby terlonjak ketika telinganya mendengar  namanya disebut.   Gadis  yang mungkin tadi itu hanya satu-satunya yang  sibuk dengan dirinya sendiri dan terus terpekur ke layar komputernya, hingga tidak menyadari kedatangan Rey, kini memutar kepalanya.
“Ya, Bu Shinta, kenapa?” tanya Ruby, seraya turun dari kursinya.  Lalu matanya beralih ke sosok Pemuda berambut hitam tebal, dengan sorot mata setajam silet, yang berdiri tercenung di sebelah Bu Shinta.
“Ini Mas Rey, Mbak Ruby mau menemani ke ruangan Bu Dyah?” tanya Bu Shinta.
Rey.  Nama itu cukup sering disebut oleh  teman-teman di ruangannya beberapa hari belakangan ini.  Mata Ruby memicing, lalu serta merta kepalanya menggeleng setelah melihat sorot mata aneh Pemuda itu terpaku padanya.
“Ibu Shinta saja ya, aku diburu-buru kerjaan.  Hari ini mau pulang tepat waktu. Kalo telat, ih, Bu Dyah bisa ngajak pulang malam,” tolak Ruby, membuat kening Rey tampak berkerut dan sorot matanya kian menusuk di mata Ruby.
Rey tampak menoleh ke Bu Shinta sebentar, pandangannya bertanya-tanya kenapa harus gadis bermata segaris itu yang mengantarnya ke ruangan Bu Dyah?  Lalu kembali menoleh, memandang lurus-lurus pada Ruby.
Kepala Ruby mendongak, berusaha menafsirkan apa yang ada di kepala Rey.  Tapi selang dua detik,  Ruby melihat  seringai muncul dari bibir Rey, dan mata  Rey  tampak terang-terangan tertuju  ke layar komputer yang  hanya tertutup sebagian oleh badan Ruby yang mungil.  
Oh tidak!  Ruby terkesiap.  Matanya mebulat.  Bukankah tadi saat Bu Shinta memanggilnya, dia tengah mencari-cari foto untuk karakter novelnya.  Dan kini, lihatlah, foto Park Bo-gum, pemeran karakter Lee Yeong di drama korea Moonlight Drawn by Clouds, tampak jelas terpampang.
“Eh, aku,” Ruby tak meneruskan kata-katanya, karena Rey makin mengerutkan dahinya, hingga kedua alisnya yang hitam melengkung nyaris bertemu. Sukses sudah, Ruby telah jelas sekali  berbohong dengan berdalih sibuk.  Aha, mungkin memang sibuk!  Tapi sibuk dengan foto-foto aktor korea. Shit!
“Oh ya sudah,” ujar Ibu Shinta cepat, lalu mengajak Rey, dan berjalan  menuju ke arah sebuah pintu yang tengah tertutup yang berada di ujung  ruangan. 
Ruby terhenyak.  Lalu dia meloncat duduk bersila di kursinya, dan jari-jarinya memutar mouse.  Tak beberapa lama, layar komputer  memampangkan  sebuah website yang berisikan nama-nama Pejabat Eselon III dan Eselon IV yang baru dilantik seminggu yang lalu di Kementeriannya.
Mata Ruby mulai mencari-cari. Satu nama yang akhirnya cukup menyita perhatiannya, dari deretan nama-nama aktor korea yang  selama ini menguasai isi kepalanya.
Ini dia.  Reykhand Darren A. Kepala Sub Bagian Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Bagian Perundang-Undangan II.
“Okey, kelar hidup gue!” Ruby bergumam, lalu matanya melotot saat melihat ke barisan angka tertera sebagai Nomor Induk Pegawai orang yang bernama Rey itu.  NIP yang empat angka pertama menandakan tahun kelahiran.
“Bagus.  Dia  bossku, dan dia lebih muda dariku! ”  Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya.  Terbayang sudah, hubungan kerja seperti apa yang akan menyongsongnya mulai hari ini.

***
Rey mendengus.  Bosan sekali dia dengan rutinitas hari ini.  Setelah berkenalan dengan karyawan  di unit kerjanya yang baru, dia merapikan mejanya sebentar.  Kini, seraya  duduk bersandar  di kursinya, dari dinding kaca di belakang mejanya,   pandangan Rey terlempar pada  pohon-pohon besar di taman di bawah sana.
 Mungkin bila hatinya sedang senang, pemandangan di luar akan lebih menyenangkan.  Taman hutan terlihat segar dan adem.  Mungkin, nanti bila jenuhnya tak tertahankan, dia  akan turun ke sana, mengitari taman hutan dan mengobrol dengan pohon-pohon yang berbatang besar itu.
Bosan memandang keluar, Rey memutar kursinya.  Dari balik partisinya, mata Rey kini mencari-cari sosok cewek berambut sebahu yang kemarin sibuk dengan drama koreanya, lalu menghilang dari  kursinya, ketika dia keluar dari ruangan Bu Dyah. 
Dan pagi ini,  cewek itu pun belum muncul.  Padahal katanya Bu Dyah, cewek yang bernama Ruby itu, akan menjadi stafnya.
“Oke kesulitan pertama di depan mata!” cetus Rey jengkel. ”Punya team yang suka menghilang seperti siluman!”
Ruangan masih lengang.  Entah pada ke mana orang-orang dalam ruangan ini.  Kecuali Bu Dyah yang pamit pada Rey untuk rapat, sisanya Rey tidak tahu-menahu.  Mungkin  Kasubag yang lain tengah rapat?  Atau malah enak-enakan sarapan di kantin?  Ah, masa bodohlah, Rey bersikap tidak peduli.
Rey merasa hidupnya sangat tidak berwarna akhir-akhir ini.  Hitam dan putih.  Dan sekarang, dia terlempar ke warna yang paling suram.  Dan ini sangat memuakkan.  Tapi Rey mencoba untuk bertahan, apa lagi pesan dari Pak Lukas, boss di kantornya yang lama, terus membekas di ingatannya.
Kalau kau rasa hidupmu hanya hitam dan putih, nikmati saja karena tanpa kau sadari banyak mereka yang hidupnya full colour, diam-diam menyimpan cemburu padamu.  Begitu Pak Lukas menyemangati Rey.
“Baiklah, baiklah.  Nikmati dan jalani takdirmu sekarang,” keluh Rey malas.
Kali ini diraihnya laptop dari ranselnya.  Dia mencoba memulai kerja di tempat yang terasa begitu asing dan sangat tidak menggairahkan.
Cukup lama dia tenggelam di depan laptopnya, ketika terdengar suara langkah pelan, mendekati mejanya. 
“Mas Rey.”
Suara perempuan  yang terkesan dingin memanggilnya.  
Kepala Rey masih menunduk, tapi kelopak matanya terangkat dan matanya langsung tertumbuk  pada cewek yang tadi dicari-carinya. Tampak cewek itu, berusaha bersikap santai dan menyunggingkan senyumnya yang canggung.
“Oke, aku tahu kamu Ruby.  Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Rey tahu, muka Ruby seketika tercengang.   Mata Ruby yang sipit tampak membulat, dan bibirnya terbuka, melongo.
 Tapi Rey memang  tak  ingin  basa-basi.  Mulai kerja, tentu lebih baik dari pada menghabiskan waktu dengan saling bertanya kabar, dan pertanyaan tak penting lainnya, bukan?
“Apa yang bisa aku bantu?” tanya Ruby, kentara sekali dia masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya dengan sikap Rey.
“Aku enggak bisa ngeprint di sini.   Tolong print saja nota dinas  ini di kertas kop.  Ada di flash disk ini, cari file Peraturan Menteri Penimbusan, dan ini berkasnya,” ujar Rey seraya menyodorkan map warna biru dan benda mungil warna merah.
 “Oh, oke.” Ruby menerima flash disk dan map.  Iseng dibacanya konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.
“Sorry, seharusnya konsep nota dinasnya tidak seperti ini.  Maksudku, format yang biasa di Biro Hukum kita, bukan begini, boleh aku bantu ubah?” tanya Ruby kali ini membuat gantian Rey yang terperangah.
“Oh, begitu ya, silakan saja.  Aku memberi keleluasaan padamu untuk memberi masukan.”
“Oke, maaf, kalau kamu eh, Mas Rey tersinggung,” ujar Ruby pelan.
“Tidak masalah.”
Rey tersenyum kecil saat kemudian  Ruby berbalik dan melangkah menuju mejanya.

***
“Oke, aku tahu kamu Ruby.  Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Ruby ketika dia tengah merapikan konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.  Helloow.... ada ya boss baru bersikap seperti itu.  Huh, ini benar-benar night mare!
“Ini menyebalkan, Tuhaaan!  Aku benci terjebak di sini.  Bos baru ini membuatku semakin ingin keluar dari dunia PNS yang membosankan ini!” Ruby mengeluh dalam hati.
“Tapi ketika aku  memutuskan pergi ke suatu tempat, dan aku  sudah di dalam pesawat, apa bisa aku berubah pikiran dan memutuskan untuk keluar?  Tidak! Yang aku  lakukan, bersabar sampai pesawat menurunkanku.  Lalu setelahnya, barulah aku dapat menentukan pilihanku kembaliBegitu juga hidup, ada kalanya saat-saat tertentu, kau tak bisa memutuskan sesukamu, karena kalau itu kau lakukan, kau pasti mati konyol! Jadi, cobalah jangan cengeng Ruby!” Ruby komat-kamit sendiri dengan gerutuannya.
 “Kalau rumit sehatusnya kamu bilang.”
Kepala Ruby mendongak, dan Rey sudah berdiri di depannya.
“Ini baru lima belas menit, aku butuh waktu untuk memperbaiki konsep itu,” ujar Ruby berdalih.
“Tapi tidak harus lama-lama berpikirnya, bukankah itu sangat sederhana?”  tandas Rey dengan pandangan tajam.
Ruby tergugu.
“Maksudnya apa ya?” tanya Ruby tak bisa menyembunyikan kejengkelannya. 
“Ya, kalau kamu enggak bisa menyelesaikannya, biar aku saja.  Aku pinjam printermu ya,” ujar Rey.
Ruby bergegas berdiri, memberi ruang untuk Rey berjalan dan kemudian duduk di kursinya. 
“Okey, kupikir ini juga sudah sangat sempurna.  Boleh aku diambilkan kertas?”
Ruby mengambil kertas dengan geram dan menaruhnya di bawah printer.
“Oke, terima kasih, Ruby.  Lain kali kerjanya fokus, dan bukan sembari bermain-main dengan mencuri-curi waktu menikmati foto aktor-aktor korea!”
“Aku tidak bermain-main dengan foto-foto itu!”  Ruby menahan geram.
"Lalu apa?"
"Itu untuk pekerjaan pentingku!" tandas Ruby.
"Oh ya? apa itu?"
Ruby menggeram.  Tidak mungkin dia berterus-terang pada si boss sombong ini kalau di tengah kesibukan kantornya, dia tengah menyelesaikan draft novelnya, dan foto-foto itu untuk karakter penting di ceritanya.  Tapi please deh!  Masa dia harus memberi tahu Rey!
"Nah, sekarang tolong cap dan paraf! Lupakan dulu foto aktor-aktor drakor!  Setelah ini, kita siap-siap rapat di Gran Melia!" ujar Rey seraya menyodorkan tiga lembar kertas hasil print-an pada Ruby.
Dan kali ini kalau ada kesempatan, ingin rasanya Ruby melempar Rey ke danau di dekat taman hutan!

***

 #BLOGTOBOOK


Tidak ada komentar:

Posting Komentar