Kamis, 02 Februari 2017

Bab II

            Pernah enggak kamu berandai-andai, suatu hari terjebak di dalam lift berdua saja sama Ji Cang Wook atau Soo Jong Ki?  Cuma kamu dan dia. Kamu pasti panik tapi enggak bikin frustasi.  Yang ada sih kamu senang dan  ingin berlama-lama, kalau perlu liftnya tidak terbuka satu minggu, itu kalau kamu punya bekal makanan dan minuman yang cukup dan mikir enggak perlu ke toilet hehehe.    Dan  itulah yang Ruby khayalkan terjadi padanya di siang bolong ini, ketika matanya  memandang lurus-lurus jalanan yang macet di depannya.
            Masalahnya sedikit saja dia menoleh ke kanan, impian  itu menjadi  mimpi buruk.  Mana ada si Ji Cang Wook yang tengah tersenyum hangat atau Soo Jong Ki yang memandangnya dengan lembut!   Yang ada justru   si boss galak yang dari tadi menggembok bibirnya dan membuang kuncinya ke laut. 
            Ini sudah lima puluh menit.  Bayangkan berdua saja  di dalam HR-V hitam yang dikemudikan oleh  Rey,  tanpa ada obrolan atau basa-basi apalah, bagi Ruby sungguh lebih menyiksa  dari pada terkurung dalam lift bareng monster Tao tie seperti dalam film the great wall yang Ruby tonton bareng Dava minggu lalu.      
            Rasanya begitu canggung berada dalam kondisi seperti ini.  Ini sungguh  enggak asyik.  Tapi mau memulai permbicaraan, dih, sorry saja ya,.. Ruby mikir jutaan kali untuk melakukannya.  Jadi dia biarkan suasana lengang kayak kuburan sampai telinganya mendengar suara ponsel berbunyi. Ponsel Rey.
            Ruby tak peduli ketika terdengar suara Rey untuk pertama kalinya terhitung nyaris satu jam yang lalu.   Tapi, sebentar!  Rey bicara dengan suara yang.... lembut!  Sungguh, kata-kata yang keluar dari mulut Rey sangat hangat.  Rey hanya berbicara sebentar, mengatakan sedang menyetir dan akan menghubungi si penelepon itu lagi.  Memang Rey tak menyebut nama, tapi Ruby yakin, yang menelepon tentunya perempuan.
            “Bisa juga dia ngomong kayak orang normal! Pasti pacarnya yang menelepon!” pikir Ruby dengan bibir mencibir.  Tapi sejurus kemudian dia teringat kata-kata Dio padanya kemarin sore.
            “Lo tahu enggak, kak Ruby,  cowok bengis kayak Mas Rey biasanya jones, si jomblo ngenes!  Jangankan  cewek,  kucing betina aja melipir kalau ada dia,” ujar Dio kemarin siang.
            Ruby tertawa cekikikan mendengar kata-kata Dio  saat itu.  Hihi… untuk urusan si boss galak, dia dan Dio bisa kompakan.  Biasanya yang ada kan cuma perang, ribut melulu. Berisik.
            “Sebentar lagi kita sampai, kamu cek rapatnya di gedung mana ya”
            “Hah?” Ruby menoleh  kaget karena tiba-tiba si boss galak berbicara.  Itu bicara padanya kan?  Bukan sedang bicara di telepon?
             “Lihat undangan rapatnya, di mana tempat rapatnya,” ujar Rey dengan suara yang kentara sekali tampak gemas.
            Ruby buru-buru membuka tasnya, mencari lembaran kertas dari balik tumpukan buku-buku.  Tapi kok enggak ada ya?
            Di sebelahnya,  dari ekor matanya, Rey mengernyitkan dahi, bingung dengan tumpukan buku Ruby keluarkan dari tasnya.  Lihat, ada novel-novel tebal segala! Pantas saja tas Ruby begitu menggembung. Rey sempat berpikir, barang penting apa yang dibawa-bawa Ruby. 
            “Di mana?”
            “Umm…. Sebentar….”
            Terdengar decakan tidak sabar dari mulut Rey.  Mobil sudah masuk ke dalam Kementerian Hukum dan HAM dari tadi, dan tinggal mencari tempat parkiran.
            “Mas Rey, undangannya ketinggalan,” ujar Ruby pelan.
            Rey menoleh gusar. 
            “Kamu punya kontak person yang mengundang?”
            Ruby menggeleng.  Masalah yang akan dirapatkan ini baru, dan dia belum sempat mendapatkan kontak person dari pihak pengundang.
            “Aku turun di sini saja, nanti aku cari ruang rapatnya di mana. Nanti aku telepon Mas Rey,” ujar Ruby akhirnya.
            “Begitu? Dengan tas menggembung, kamu mondar-mandir ke sana ke mari?” Rey berkata sinis.
            Ruby menggigit bibirnya, bingung berkata-kata.
            “Kemungkinan besar rapatnya di gedung Dirjen KI. Nanti bisa nanya lagi di sana,” lanjut Rey, sedikit melunak.
            “Iya,” Ruby menjawab pelan.
            “Kalau mau menerima saran, barang yang tidak penting, keluarkan saja dari tas dan taruh  di mobil,” ujar Rey dengan suara datar.
            “Barang tidak penting?” Ruby bertanya bingung.
            “Novel-novel kamu,” cetus Rey kalem.
            Seketika Ruby paham. Rey pasti melihat novel yang terselip di tumpukan buku-buku aturan di dalam tasnya.  Tapi tidak penting, katanya tadi?  Ruby menggaruk-garuk pipinya mulai depresi.

***
            Rapat kali ini tentang Indikasi Geografis.  Tapi mengapa rasanya seperti semua orang dari lima kementerian dikumpulkan  hanya untuk mendengarkan rayuan salah satu menteri untuk  meng-gol-kan MoU yang benar-benar enggak penting.  Sedari tadi Ruby memperhatikan Rey bergumam tidak jelas saat membolak-balik lembaran Mou.
            “Aku pendapatmu dengan MoU ini?” tanya Rey tiba-tiba, persis di saat  Ruby tengah memperhatikan kerutan di kening Rey yang selalu muncul bila Rey tengah berpikir serius.
            Ruby baru mau berbicara ketika terdengar seorang pemuda menginterupsi diskusi.  Kepala Rey memutar dan matanya memandang lurus-lurus ke pemuda itu, yang dengan dagu mendongak tampak ingin mendominasi ruang rapat.  Bahkan tak segan-segan dia mengatasnamakan Menteri di tempatnya bekerja, dan enggak peduli sama pendapat orang lain, ketika ada peserta lain yang meminta penjelasan.
 “ini sudah arahan Menteri saya!” kata-kata itu menjadi senjatanya.  Mungkin itu bahasa pamungkas yang dia punya yang selalu diulang-ulang ratusan kali.
            Ruby menahan napas saat melihat Rey menegakkan punggungnya, kakinya mulai menghentak-hentak halus seperti sedang bermain drum, dan tangan kirinya memutar-mutar pulpen.  Setelah beberapa kali ikut  rapat bersama bossnya ini, Ruby mulai menangkap gesture itu sebagai pertanda kalau Rey geram ingin bersuara.
            “Boleh Saya merespons apa yang baru Mas sampaikan?” tanya Rey  masih kalem.
            “Silakan,” ujar pemuda itu.
            Rey bersandar di kursinya dan mulai bicara.  Gaya Rey begitu santai dan sangat tidak terpengaruh dengan pandangan meremehkan pemuda di depannya.
            Sepuluh menit Rey berbicara.  Mau tak mau bibir Ruby menyunggingkan senyum.  Cara Rey berkata-kata benar-benar lugas, terdengar halus namun penuh penekanan.  Selalu saja ada kata “kan ya” di akhir kalimatnya.  Ruby diam-diam terkikik, saat melihat muka pemuda yang tadi sok paling benar di ruang rapat ini, berbalik gelisah dan mulai terpancing. 
            Sejurus kemudian, pemuda itu tampak tak sabar ingin menimpali. 
“ini sudah arahan Menteri saya!”  Pemuda itu memotong kata-kata Rey.  Dan lagi-lagi  kalimat pamungkas itu keluar untuk menyudutkan Rey, meskipun kali ini terdengar seperti orang yang kehilangan rasa percaya diri.
            Rey berdehem dan mukanya berubah serius.
            “Mas, kalau argumennya cuma itu-itu aja, berarti rapat  ini cuma sekedar makan siang bersama, enggak perlu ada diskusi!” tandas Rey seraya mengetuk nasi kotak yang ada di depannya.
            Ruang rapat yang tadinya  hening karena pembicaraan terpusat  antara Rey dan pemuda itu, langsung dipenuhi tawa para peserta lain. 
                “Naahh... keluar juga aslinya si Boss,” batin Ruby dengan mulut  ternganga.  Sungguh tak percaya dia dengan apa yang baru saja Rey ucapkan.
Ruby terpaksa harus mengakui itu kali pertama dia mendengar ada orang yang berani bicara frontal di tengah forum resmi seperti ini.
 “Cool...!” Ruby bergumam, dan dia  merasa sangat lucu.

***


Sabtu, 28 Januari 2017

BAB I

            BLOG TO BOOK 2017
            BAB 1


          Pemuda berkemeja kotak-kotak warna abu-abu dengan  ransel tersampir di pundak, melangkah masuk dengan muka dingin.  Langkahnya panjang-panjang dan cepat, seolah sedang melintasi jalanan yang diguyur hujan deras.  Begitu terburu-buru.   Namun  kemudian di tengah-tengah ruangan,  langkahnya tiba-tiba terhenti.  Dia mematung beberapa detik, menoleh ke kiri sebelum melayangkan pandangan ke separuh ruangan.
Menyadari berpasang-pasang mata memandangnya dengan sorot mata bertanya-tanya,  dia   melempar senyum sekilas, lalu terlontarlah sapaan irit yang hanya berupa “halo”.   Ya, cuma itu keluar dari bibirnya.  Lalu rahangnya tampak mengeras.  Untuk beberapa saat, waktu seolah berhenti, dan  semua yang ada membeku.  Lengang melingkupi ruangan.
Empat detik...lima detik.... enam detik.... hingga.....
“Maaf, Mas  mencari siapa?”
Akhirnya, ya pada akhirnya, seorang perempuan paling senior di ruangan itu, Bu Shinta, tersentak berdiri dan bertanya.
“Oh, Saya Rey. Mau bertemu Ibu Dyah,”
Cukup menyebut namanya, lalu  hampir semua orang yang saat itu  tengah tertuju padanya, seketika paham.
“Oh,  Mas Rey.  Ibu Dyah ada di ruangannya.  Mari Saya antar,” ujar Bu Shinta.
Pemuda itu,  Rey,  mengangguk. Dia baru saja akan berjalan mengikuti Bu Shinta, ketika kemudian perempuan berkaca mata itu berbalik.
“Sebentar, mungkin mbak Ruby bisa mengantar ke dalam,” ujar Bu Shinta. “Mbak Ruby!”
Ruby terlonjak ketika telinganya mendengar  namanya disebut.   Gadis  yang mungkin tadi itu hanya satu-satunya yang  sibuk dengan dirinya sendiri dan terus terpekur ke layar komputernya, hingga tidak menyadari kedatangan Rey, kini memutar kepalanya.
“Ya, Bu Shinta, kenapa?” tanya Ruby, seraya turun dari kursinya.  Lalu matanya beralih ke sosok Pemuda berambut hitam tebal, dengan sorot mata setajam silet, yang berdiri tercenung di sebelah Bu Shinta.
“Ini Mas Rey, Mbak Ruby mau menemani ke ruangan Bu Dyah?” tanya Bu Shinta.
Rey.  Nama itu cukup sering disebut oleh  teman-teman di ruangannya beberapa hari belakangan ini.  Mata Ruby memicing, lalu serta merta kepalanya menggeleng setelah melihat sorot mata aneh Pemuda itu terpaku padanya.
“Ibu Shinta saja ya, aku diburu-buru kerjaan.  Hari ini mau pulang tepat waktu. Kalo telat, ih, Bu Dyah bisa ngajak pulang malam,” tolak Ruby, membuat kening Rey tampak berkerut dan sorot matanya kian menusuk di mata Ruby.
Rey tampak menoleh ke Bu Shinta sebentar, pandangannya bertanya-tanya kenapa harus gadis bermata segaris itu yang mengantarnya ke ruangan Bu Dyah?  Lalu kembali menoleh, memandang lurus-lurus pada Ruby.
Kepala Ruby mendongak, berusaha menafsirkan apa yang ada di kepala Rey.  Tapi selang dua detik,  Ruby melihat  seringai muncul dari bibir Rey, dan mata  Rey  tampak terang-terangan tertuju  ke layar komputer yang  hanya tertutup sebagian oleh badan Ruby yang mungil.  
Oh tidak!  Ruby terkesiap.  Matanya mebulat.  Bukankah tadi saat Bu Shinta memanggilnya, dia tengah mencari-cari foto untuk karakter novelnya.  Dan kini, lihatlah, foto Park Bo-gum, pemeran karakter Lee Yeong di drama korea Moonlight Drawn by Clouds, tampak jelas terpampang.
“Eh, aku,” Ruby tak meneruskan kata-katanya, karena Rey makin mengerutkan dahinya, hingga kedua alisnya yang hitam melengkung nyaris bertemu. Sukses sudah, Ruby telah jelas sekali  berbohong dengan berdalih sibuk.  Aha, mungkin memang sibuk!  Tapi sibuk dengan foto-foto aktor korea. Shit!
“Oh ya sudah,” ujar Ibu Shinta cepat, lalu mengajak Rey, dan berjalan  menuju ke arah sebuah pintu yang tengah tertutup yang berada di ujung  ruangan. 
Ruby terhenyak.  Lalu dia meloncat duduk bersila di kursinya, dan jari-jarinya memutar mouse.  Tak beberapa lama, layar komputer  memampangkan  sebuah website yang berisikan nama-nama Pejabat Eselon III dan Eselon IV yang baru dilantik seminggu yang lalu di Kementeriannya.
Mata Ruby mulai mencari-cari. Satu nama yang akhirnya cukup menyita perhatiannya, dari deretan nama-nama aktor korea yang  selama ini menguasai isi kepalanya.
Ini dia.  Reykhand Darren A. Kepala Sub Bagian Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Bagian Perundang-Undangan II.
“Okey, kelar hidup gue!” Ruby bergumam, lalu matanya melotot saat melihat ke barisan angka tertera sebagai Nomor Induk Pegawai orang yang bernama Rey itu.  NIP yang empat angka pertama menandakan tahun kelahiran.
“Bagus.  Dia  bossku, dan dia lebih muda dariku! ”  Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya.  Terbayang sudah, hubungan kerja seperti apa yang akan menyongsongnya mulai hari ini.

***
Rey mendengus.  Bosan sekali dia dengan rutinitas hari ini.  Setelah berkenalan dengan karyawan  di unit kerjanya yang baru, dia merapikan mejanya sebentar.  Kini, seraya  duduk bersandar  di kursinya, dari dinding kaca di belakang mejanya,   pandangan Rey terlempar pada  pohon-pohon besar di taman di bawah sana.
 Mungkin bila hatinya sedang senang, pemandangan di luar akan lebih menyenangkan.  Taman hutan terlihat segar dan adem.  Mungkin, nanti bila jenuhnya tak tertahankan, dia  akan turun ke sana, mengitari taman hutan dan mengobrol dengan pohon-pohon yang berbatang besar itu.
Bosan memandang keluar, Rey memutar kursinya.  Dari balik partisinya, mata Rey kini mencari-cari sosok cewek berambut sebahu yang kemarin sibuk dengan drama koreanya, lalu menghilang dari  kursinya, ketika dia keluar dari ruangan Bu Dyah. 
Dan pagi ini,  cewek itu pun belum muncul.  Padahal katanya Bu Dyah, cewek yang bernama Ruby itu, akan menjadi stafnya.
“Oke kesulitan pertama di depan mata!” cetus Rey jengkel. ”Punya team yang suka menghilang seperti siluman!”
Ruangan masih lengang.  Entah pada ke mana orang-orang dalam ruangan ini.  Kecuali Bu Dyah yang pamit pada Rey untuk rapat, sisanya Rey tidak tahu-menahu.  Mungkin  Kasubag yang lain tengah rapat?  Atau malah enak-enakan sarapan di kantin?  Ah, masa bodohlah, Rey bersikap tidak peduli.
Rey merasa hidupnya sangat tidak berwarna akhir-akhir ini.  Hitam dan putih.  Dan sekarang, dia terlempar ke warna yang paling suram.  Dan ini sangat memuakkan.  Tapi Rey mencoba untuk bertahan, apa lagi pesan dari Pak Lukas, boss di kantornya yang lama, terus membekas di ingatannya.
Kalau kau rasa hidupmu hanya hitam dan putih, nikmati saja karena tanpa kau sadari banyak mereka yang hidupnya full colour, diam-diam menyimpan cemburu padamu.  Begitu Pak Lukas menyemangati Rey.
“Baiklah, baiklah.  Nikmati dan jalani takdirmu sekarang,” keluh Rey malas.
Kali ini diraihnya laptop dari ranselnya.  Dia mencoba memulai kerja di tempat yang terasa begitu asing dan sangat tidak menggairahkan.
Cukup lama dia tenggelam di depan laptopnya, ketika terdengar suara langkah pelan, mendekati mejanya. 
“Mas Rey.”
Suara perempuan  yang terkesan dingin memanggilnya.  
Kepala Rey masih menunduk, tapi kelopak matanya terangkat dan matanya langsung tertumbuk  pada cewek yang tadi dicari-carinya. Tampak cewek itu, berusaha bersikap santai dan menyunggingkan senyumnya yang canggung.
“Oke, aku tahu kamu Ruby.  Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Rey tahu, muka Ruby seketika tercengang.   Mata Ruby yang sipit tampak membulat, dan bibirnya terbuka, melongo.
 Tapi Rey memang  tak  ingin  basa-basi.  Mulai kerja, tentu lebih baik dari pada menghabiskan waktu dengan saling bertanya kabar, dan pertanyaan tak penting lainnya, bukan?
“Apa yang bisa aku bantu?” tanya Ruby, kentara sekali dia masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya dengan sikap Rey.
“Aku enggak bisa ngeprint di sini.   Tolong print saja nota dinas  ini di kertas kop.  Ada di flash disk ini, cari file Peraturan Menteri Penimbusan, dan ini berkasnya,” ujar Rey seraya menyodorkan map warna biru dan benda mungil warna merah.
 “Oh, oke.” Ruby menerima flash disk dan map.  Iseng dibacanya konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.
“Sorry, seharusnya konsep nota dinasnya tidak seperti ini.  Maksudku, format yang biasa di Biro Hukum kita, bukan begini, boleh aku bantu ubah?” tanya Ruby kali ini membuat gantian Rey yang terperangah.
“Oh, begitu ya, silakan saja.  Aku memberi keleluasaan padamu untuk memberi masukan.”
“Oke, maaf, kalau kamu eh, Mas Rey tersinggung,” ujar Ruby pelan.
“Tidak masalah.”
Rey tersenyum kecil saat kemudian  Ruby berbalik dan melangkah menuju mejanya.

***
“Oke, aku tahu kamu Ruby.  Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Ruby ketika dia tengah merapikan konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.  Helloow.... ada ya boss baru bersikap seperti itu.  Huh, ini benar-benar night mare!
“Ini menyebalkan, Tuhaaan!  Aku benci terjebak di sini.  Bos baru ini membuatku semakin ingin keluar dari dunia PNS yang membosankan ini!” Ruby mengeluh dalam hati.
“Tapi ketika aku  memutuskan pergi ke suatu tempat, dan aku  sudah di dalam pesawat, apa bisa aku berubah pikiran dan memutuskan untuk keluar?  Tidak! Yang aku  lakukan, bersabar sampai pesawat menurunkanku.  Lalu setelahnya, barulah aku dapat menentukan pilihanku kembaliBegitu juga hidup, ada kalanya saat-saat tertentu, kau tak bisa memutuskan sesukamu, karena kalau itu kau lakukan, kau pasti mati konyol! Jadi, cobalah jangan cengeng Ruby!” Ruby komat-kamit sendiri dengan gerutuannya.
 “Kalau rumit sehatusnya kamu bilang.”
Kepala Ruby mendongak, dan Rey sudah berdiri di depannya.
“Ini baru lima belas menit, aku butuh waktu untuk memperbaiki konsep itu,” ujar Ruby berdalih.
“Tapi tidak harus lama-lama berpikirnya, bukankah itu sangat sederhana?”  tandas Rey dengan pandangan tajam.
Ruby tergugu.
“Maksudnya apa ya?” tanya Ruby tak bisa menyembunyikan kejengkelannya. 
“Ya, kalau kamu enggak bisa menyelesaikannya, biar aku saja.  Aku pinjam printermu ya,” ujar Rey.
Ruby bergegas berdiri, memberi ruang untuk Rey berjalan dan kemudian duduk di kursinya. 
“Okey, kupikir ini juga sudah sangat sempurna.  Boleh aku diambilkan kertas?”
Ruby mengambil kertas dengan geram dan menaruhnya di bawah printer.
“Oke, terima kasih, Ruby.  Lain kali kerjanya fokus, dan bukan sembari bermain-main dengan mencuri-curi waktu menikmati foto aktor-aktor korea!”
“Aku tidak bermain-main dengan foto-foto itu!”  Ruby menahan geram.
"Lalu apa?"
"Itu untuk pekerjaan pentingku!" tandas Ruby.
"Oh ya? apa itu?"
Ruby menggeram.  Tidak mungkin dia berterus-terang pada si boss sombong ini kalau di tengah kesibukan kantornya, dia tengah menyelesaikan draft novelnya, dan foto-foto itu untuk karakter penting di ceritanya.  Tapi please deh!  Masa dia harus memberi tahu Rey!
"Nah, sekarang tolong cap dan paraf! Lupakan dulu foto aktor-aktor drakor!  Setelah ini, kita siap-siap rapat di Gran Melia!" ujar Rey seraya menyodorkan tiga lembar kertas hasil print-an pada Ruby.
Dan kali ini kalau ada kesempatan, ingin rasanya Ruby melempar Rey ke danau di dekat taman hutan!

***

 #BLOGTOBOOK


Minggu, 22 Januari 2017

Tugas 2 Blog To Book



=================================
Tugas 2 B2B2017 (versi 2)
Objective :

                Bagi Ruby, menulis adalah gairah, impian dan hidupnya.   Ruby membayangkan suatu pagi yang hangat, dia terbangun dari tidurnya, lalu tanpa terburu-buru mengejar bus ke kantor, dia akan duduk di balik meja dapur dan menyeduh teh hangat.  Lalu, sebelum mandi, dia akan menyempatkan diri untuk mengecek draft novelnya, membaca beberapa lembar buku, lalu  mungkin turun ke halaman, menghirup udara pagi yang segar dan menikmati kesibukan orang-orang mengawali pagi.
               
              Tapi, seringnya takdir membawamu bukan ke tempat yang engkau impikan, dan kau tak bisa mengelaknya.   Dan Ruby percaya.  Mungkin memang sebaiknya saat ini dia menikmati apa yang telah digariskan oleh Tuhan untuknya.  Menikmati dunia PNSnya, namun diam-diam merencanakan dan merancang masa depannya sebagai penulis.  Ya hanya Penulis dan meninggalkan profesi PNS yang sudah beberapa tahun ini melabeli dirinya.  PNS, yang membuat mamanya sangat bahagia dan merasa tidak sia-sia menyekolahkan Ruby hingga  meraih gelar master.
                Jadi yang dilakukan Ruby saat ini hanyalah berdamai dengan keadaan sekarang.  Nikmati makanan yang tersaji dan kau akan merasa kenyang.  Karena tokh, untuk menulis sekarang, waktunya sudah sangat sempit.  Dia hanya punya waktu malam sebelum tidur, atau tengah malam setelah dia tidur beberapa jam saja.  Kalau di kantor, dia tak punya waktu sedikitpun.  Ah, bukan tak punya, tapi karena Rey, si boss galak pernah melontarkan kata-kata yang membuat hati Ruby tersentil.
                “Jangan menulis di jam kantor, Ruby, biar berkah!”
                Kata-kata itu dikatakan dengan ekspresi dingin.   Seperti biasa, cara Rey berkata-kata.  Tapi apa isi kata-kata itu sangat menyentuh bagian terdalam hati Ruby.  Rey benar, sangat benar.  Dan kali ini, Ruby mengangguk dan tidak membantah, seperti biasanya juga.
                Masalahnya, Ruby harus terus menulis.  Menulis juga yang mampu mengobati hatinya.  Menulis membuatnya berhenti menangis ketika dulu, seseorang yang sangat dekat dengannya, meninggalkannya.  Menulis membuat Ruby percaya, dia tidak butuh teman untuk berkeluh kesah, dia tidak perlu seseorang untuk berbagi harapan dan impian.  Cukup dengan bermain dengan kata-kata, tenggelam dalam cerita yang diciptakannya, dia akan sanggup melupakan semuanya. Melupakan kesedihan dan bisa bahagia dengan caranya sendiri.  
                Menulis, di sisa waktunya yang sempit.  Padahal impiannya sangat besar.  Novelnya difilmkan, keluar negeri karena menulis, dan mendapat  beasiswa menulis.  Dan Ruby percaya, suatu hari nanti dia akan berhasil mendekap impiannya.  Mengejar impian di tengah kesibukan dan rutinitas.

                  Tanpa Ruby pernah tahu, ketika kemudian, di masa yang akan datang, rutinitas dan kegiatan kantor yang awalnya menyebalkan, bisa menghadirkan dilema baginya.  Ketika suatu hari datang tawaran bermukim di luar negeri untuk melakukan riset menulis, berbenturan dengan tugas kantor, yang diam-diam, tanpa dia sadari, telah memberikan pelangi indah di hatinya.
**





#BLOGTOBOOK