Kamis, 02 Februari 2017

Bab II

            Pernah enggak kamu berandai-andai, suatu hari terjebak di dalam lift berdua saja sama Ji Cang Wook atau Soo Jong Ki?  Cuma kamu dan dia. Kamu pasti panik tapi enggak bikin frustasi.  Yang ada sih kamu senang dan  ingin berlama-lama, kalau perlu liftnya tidak terbuka satu minggu, itu kalau kamu punya bekal makanan dan minuman yang cukup dan mikir enggak perlu ke toilet hehehe.    Dan  itulah yang Ruby khayalkan terjadi padanya di siang bolong ini, ketika matanya  memandang lurus-lurus jalanan yang macet di depannya.
            Masalahnya sedikit saja dia menoleh ke kanan, impian  itu menjadi  mimpi buruk.  Mana ada si Ji Cang Wook yang tengah tersenyum hangat atau Soo Jong Ki yang memandangnya dengan lembut!   Yang ada justru   si boss galak yang dari tadi menggembok bibirnya dan membuang kuncinya ke laut. 
            Ini sudah lima puluh menit.  Bayangkan berdua saja  di dalam HR-V hitam yang dikemudikan oleh  Rey,  tanpa ada obrolan atau basa-basi apalah, bagi Ruby sungguh lebih menyiksa  dari pada terkurung dalam lift bareng monster Tao tie seperti dalam film the great wall yang Ruby tonton bareng Dava minggu lalu.      
            Rasanya begitu canggung berada dalam kondisi seperti ini.  Ini sungguh  enggak asyik.  Tapi mau memulai permbicaraan, dih, sorry saja ya,.. Ruby mikir jutaan kali untuk melakukannya.  Jadi dia biarkan suasana lengang kayak kuburan sampai telinganya mendengar suara ponsel berbunyi. Ponsel Rey.
            Ruby tak peduli ketika terdengar suara Rey untuk pertama kalinya terhitung nyaris satu jam yang lalu.   Tapi, sebentar!  Rey bicara dengan suara yang.... lembut!  Sungguh, kata-kata yang keluar dari mulut Rey sangat hangat.  Rey hanya berbicara sebentar, mengatakan sedang menyetir dan akan menghubungi si penelepon itu lagi.  Memang Rey tak menyebut nama, tapi Ruby yakin, yang menelepon tentunya perempuan.
            “Bisa juga dia ngomong kayak orang normal! Pasti pacarnya yang menelepon!” pikir Ruby dengan bibir mencibir.  Tapi sejurus kemudian dia teringat kata-kata Dio padanya kemarin sore.
            “Lo tahu enggak, kak Ruby,  cowok bengis kayak Mas Rey biasanya jones, si jomblo ngenes!  Jangankan  cewek,  kucing betina aja melipir kalau ada dia,” ujar Dio kemarin siang.
            Ruby tertawa cekikikan mendengar kata-kata Dio  saat itu.  Hihi… untuk urusan si boss galak, dia dan Dio bisa kompakan.  Biasanya yang ada kan cuma perang, ribut melulu. Berisik.
            “Sebentar lagi kita sampai, kamu cek rapatnya di gedung mana ya”
            “Hah?” Ruby menoleh  kaget karena tiba-tiba si boss galak berbicara.  Itu bicara padanya kan?  Bukan sedang bicara di telepon?
             “Lihat undangan rapatnya, di mana tempat rapatnya,” ujar Rey dengan suara yang kentara sekali tampak gemas.
            Ruby buru-buru membuka tasnya, mencari lembaran kertas dari balik tumpukan buku-buku.  Tapi kok enggak ada ya?
            Di sebelahnya,  dari ekor matanya, Rey mengernyitkan dahi, bingung dengan tumpukan buku Ruby keluarkan dari tasnya.  Lihat, ada novel-novel tebal segala! Pantas saja tas Ruby begitu menggembung. Rey sempat berpikir, barang penting apa yang dibawa-bawa Ruby. 
            “Di mana?”
            “Umm…. Sebentar….”
            Terdengar decakan tidak sabar dari mulut Rey.  Mobil sudah masuk ke dalam Kementerian Hukum dan HAM dari tadi, dan tinggal mencari tempat parkiran.
            “Mas Rey, undangannya ketinggalan,” ujar Ruby pelan.
            Rey menoleh gusar. 
            “Kamu punya kontak person yang mengundang?”
            Ruby menggeleng.  Masalah yang akan dirapatkan ini baru, dan dia belum sempat mendapatkan kontak person dari pihak pengundang.
            “Aku turun di sini saja, nanti aku cari ruang rapatnya di mana. Nanti aku telepon Mas Rey,” ujar Ruby akhirnya.
            “Begitu? Dengan tas menggembung, kamu mondar-mandir ke sana ke mari?” Rey berkata sinis.
            Ruby menggigit bibirnya, bingung berkata-kata.
            “Kemungkinan besar rapatnya di gedung Dirjen KI. Nanti bisa nanya lagi di sana,” lanjut Rey, sedikit melunak.
            “Iya,” Ruby menjawab pelan.
            “Kalau mau menerima saran, barang yang tidak penting, keluarkan saja dari tas dan taruh  di mobil,” ujar Rey dengan suara datar.
            “Barang tidak penting?” Ruby bertanya bingung.
            “Novel-novel kamu,” cetus Rey kalem.
            Seketika Ruby paham. Rey pasti melihat novel yang terselip di tumpukan buku-buku aturan di dalam tasnya.  Tapi tidak penting, katanya tadi?  Ruby menggaruk-garuk pipinya mulai depresi.

***
            Rapat kali ini tentang Indikasi Geografis.  Tapi mengapa rasanya seperti semua orang dari lima kementerian dikumpulkan  hanya untuk mendengarkan rayuan salah satu menteri untuk  meng-gol-kan MoU yang benar-benar enggak penting.  Sedari tadi Ruby memperhatikan Rey bergumam tidak jelas saat membolak-balik lembaran Mou.
            “Aku pendapatmu dengan MoU ini?” tanya Rey tiba-tiba, persis di saat  Ruby tengah memperhatikan kerutan di kening Rey yang selalu muncul bila Rey tengah berpikir serius.
            Ruby baru mau berbicara ketika terdengar seorang pemuda menginterupsi diskusi.  Kepala Rey memutar dan matanya memandang lurus-lurus ke pemuda itu, yang dengan dagu mendongak tampak ingin mendominasi ruang rapat.  Bahkan tak segan-segan dia mengatasnamakan Menteri di tempatnya bekerja, dan enggak peduli sama pendapat orang lain, ketika ada peserta lain yang meminta penjelasan.
 “ini sudah arahan Menteri saya!” kata-kata itu menjadi senjatanya.  Mungkin itu bahasa pamungkas yang dia punya yang selalu diulang-ulang ratusan kali.
            Ruby menahan napas saat melihat Rey menegakkan punggungnya, kakinya mulai menghentak-hentak halus seperti sedang bermain drum, dan tangan kirinya memutar-mutar pulpen.  Setelah beberapa kali ikut  rapat bersama bossnya ini, Ruby mulai menangkap gesture itu sebagai pertanda kalau Rey geram ingin bersuara.
            “Boleh Saya merespons apa yang baru Mas sampaikan?” tanya Rey  masih kalem.
            “Silakan,” ujar pemuda itu.
            Rey bersandar di kursinya dan mulai bicara.  Gaya Rey begitu santai dan sangat tidak terpengaruh dengan pandangan meremehkan pemuda di depannya.
            Sepuluh menit Rey berbicara.  Mau tak mau bibir Ruby menyunggingkan senyum.  Cara Rey berkata-kata benar-benar lugas, terdengar halus namun penuh penekanan.  Selalu saja ada kata “kan ya” di akhir kalimatnya.  Ruby diam-diam terkikik, saat melihat muka pemuda yang tadi sok paling benar di ruang rapat ini, berbalik gelisah dan mulai terpancing. 
            Sejurus kemudian, pemuda itu tampak tak sabar ingin menimpali. 
“ini sudah arahan Menteri saya!”  Pemuda itu memotong kata-kata Rey.  Dan lagi-lagi  kalimat pamungkas itu keluar untuk menyudutkan Rey, meskipun kali ini terdengar seperti orang yang kehilangan rasa percaya diri.
            Rey berdehem dan mukanya berubah serius.
            “Mas, kalau argumennya cuma itu-itu aja, berarti rapat  ini cuma sekedar makan siang bersama, enggak perlu ada diskusi!” tandas Rey seraya mengetuk nasi kotak yang ada di depannya.
            Ruang rapat yang tadinya  hening karena pembicaraan terpusat  antara Rey dan pemuda itu, langsung dipenuhi tawa para peserta lain. 
                “Naahh... keluar juga aslinya si Boss,” batin Ruby dengan mulut  ternganga.  Sungguh tak percaya dia dengan apa yang baru saja Rey ucapkan.
Ruby terpaksa harus mengakui itu kali pertama dia mendengar ada orang yang berani bicara frontal di tengah forum resmi seperti ini.
 “Cool...!” Ruby bergumam, dan dia  merasa sangat lucu.

***