Sabtu, 28 Januari 2017

BAB I

            BLOG TO BOOK 2017
            BAB 1


          Pemuda berkemeja kotak-kotak warna abu-abu dengan  ransel tersampir di pundak, melangkah masuk dengan muka dingin.  Langkahnya panjang-panjang dan cepat, seolah sedang melintasi jalanan yang diguyur hujan deras.  Begitu terburu-buru.   Namun  kemudian di tengah-tengah ruangan,  langkahnya tiba-tiba terhenti.  Dia mematung beberapa detik, menoleh ke kiri sebelum melayangkan pandangan ke separuh ruangan.
Menyadari berpasang-pasang mata memandangnya dengan sorot mata bertanya-tanya,  dia   melempar senyum sekilas, lalu terlontarlah sapaan irit yang hanya berupa “halo”.   Ya, cuma itu keluar dari bibirnya.  Lalu rahangnya tampak mengeras.  Untuk beberapa saat, waktu seolah berhenti, dan  semua yang ada membeku.  Lengang melingkupi ruangan.
Empat detik...lima detik.... enam detik.... hingga.....
“Maaf, Mas  mencari siapa?”
Akhirnya, ya pada akhirnya, seorang perempuan paling senior di ruangan itu, Bu Shinta, tersentak berdiri dan bertanya.
“Oh, Saya Rey. Mau bertemu Ibu Dyah,”
Cukup menyebut namanya, lalu  hampir semua orang yang saat itu  tengah tertuju padanya, seketika paham.
“Oh,  Mas Rey.  Ibu Dyah ada di ruangannya.  Mari Saya antar,” ujar Bu Shinta.
Pemuda itu,  Rey,  mengangguk. Dia baru saja akan berjalan mengikuti Bu Shinta, ketika kemudian perempuan berkaca mata itu berbalik.
“Sebentar, mungkin mbak Ruby bisa mengantar ke dalam,” ujar Bu Shinta. “Mbak Ruby!”
Ruby terlonjak ketika telinganya mendengar  namanya disebut.   Gadis  yang mungkin tadi itu hanya satu-satunya yang  sibuk dengan dirinya sendiri dan terus terpekur ke layar komputernya, hingga tidak menyadari kedatangan Rey, kini memutar kepalanya.
“Ya, Bu Shinta, kenapa?” tanya Ruby, seraya turun dari kursinya.  Lalu matanya beralih ke sosok Pemuda berambut hitam tebal, dengan sorot mata setajam silet, yang berdiri tercenung di sebelah Bu Shinta.
“Ini Mas Rey, Mbak Ruby mau menemani ke ruangan Bu Dyah?” tanya Bu Shinta.
Rey.  Nama itu cukup sering disebut oleh  teman-teman di ruangannya beberapa hari belakangan ini.  Mata Ruby memicing, lalu serta merta kepalanya menggeleng setelah melihat sorot mata aneh Pemuda itu terpaku padanya.
“Ibu Shinta saja ya, aku diburu-buru kerjaan.  Hari ini mau pulang tepat waktu. Kalo telat, ih, Bu Dyah bisa ngajak pulang malam,” tolak Ruby, membuat kening Rey tampak berkerut dan sorot matanya kian menusuk di mata Ruby.
Rey tampak menoleh ke Bu Shinta sebentar, pandangannya bertanya-tanya kenapa harus gadis bermata segaris itu yang mengantarnya ke ruangan Bu Dyah?  Lalu kembali menoleh, memandang lurus-lurus pada Ruby.
Kepala Ruby mendongak, berusaha menafsirkan apa yang ada di kepala Rey.  Tapi selang dua detik,  Ruby melihat  seringai muncul dari bibir Rey, dan mata  Rey  tampak terang-terangan tertuju  ke layar komputer yang  hanya tertutup sebagian oleh badan Ruby yang mungil.  
Oh tidak!  Ruby terkesiap.  Matanya mebulat.  Bukankah tadi saat Bu Shinta memanggilnya, dia tengah mencari-cari foto untuk karakter novelnya.  Dan kini, lihatlah, foto Park Bo-gum, pemeran karakter Lee Yeong di drama korea Moonlight Drawn by Clouds, tampak jelas terpampang.
“Eh, aku,” Ruby tak meneruskan kata-katanya, karena Rey makin mengerutkan dahinya, hingga kedua alisnya yang hitam melengkung nyaris bertemu. Sukses sudah, Ruby telah jelas sekali  berbohong dengan berdalih sibuk.  Aha, mungkin memang sibuk!  Tapi sibuk dengan foto-foto aktor korea. Shit!
“Oh ya sudah,” ujar Ibu Shinta cepat, lalu mengajak Rey, dan berjalan  menuju ke arah sebuah pintu yang tengah tertutup yang berada di ujung  ruangan. 
Ruby terhenyak.  Lalu dia meloncat duduk bersila di kursinya, dan jari-jarinya memutar mouse.  Tak beberapa lama, layar komputer  memampangkan  sebuah website yang berisikan nama-nama Pejabat Eselon III dan Eselon IV yang baru dilantik seminggu yang lalu di Kementeriannya.
Mata Ruby mulai mencari-cari. Satu nama yang akhirnya cukup menyita perhatiannya, dari deretan nama-nama aktor korea yang  selama ini menguasai isi kepalanya.
Ini dia.  Reykhand Darren A. Kepala Sub Bagian Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Bagian Perundang-Undangan II.
“Okey, kelar hidup gue!” Ruby bergumam, lalu matanya melotot saat melihat ke barisan angka tertera sebagai Nomor Induk Pegawai orang yang bernama Rey itu.  NIP yang empat angka pertama menandakan tahun kelahiran.
“Bagus.  Dia  bossku, dan dia lebih muda dariku! ”  Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya.  Terbayang sudah, hubungan kerja seperti apa yang akan menyongsongnya mulai hari ini.

***
Rey mendengus.  Bosan sekali dia dengan rutinitas hari ini.  Setelah berkenalan dengan karyawan  di unit kerjanya yang baru, dia merapikan mejanya sebentar.  Kini, seraya  duduk bersandar  di kursinya, dari dinding kaca di belakang mejanya,   pandangan Rey terlempar pada  pohon-pohon besar di taman di bawah sana.
 Mungkin bila hatinya sedang senang, pemandangan di luar akan lebih menyenangkan.  Taman hutan terlihat segar dan adem.  Mungkin, nanti bila jenuhnya tak tertahankan, dia  akan turun ke sana, mengitari taman hutan dan mengobrol dengan pohon-pohon yang berbatang besar itu.
Bosan memandang keluar, Rey memutar kursinya.  Dari balik partisinya, mata Rey kini mencari-cari sosok cewek berambut sebahu yang kemarin sibuk dengan drama koreanya, lalu menghilang dari  kursinya, ketika dia keluar dari ruangan Bu Dyah. 
Dan pagi ini,  cewek itu pun belum muncul.  Padahal katanya Bu Dyah, cewek yang bernama Ruby itu, akan menjadi stafnya.
“Oke kesulitan pertama di depan mata!” cetus Rey jengkel. ”Punya team yang suka menghilang seperti siluman!”
Ruangan masih lengang.  Entah pada ke mana orang-orang dalam ruangan ini.  Kecuali Bu Dyah yang pamit pada Rey untuk rapat, sisanya Rey tidak tahu-menahu.  Mungkin  Kasubag yang lain tengah rapat?  Atau malah enak-enakan sarapan di kantin?  Ah, masa bodohlah, Rey bersikap tidak peduli.
Rey merasa hidupnya sangat tidak berwarna akhir-akhir ini.  Hitam dan putih.  Dan sekarang, dia terlempar ke warna yang paling suram.  Dan ini sangat memuakkan.  Tapi Rey mencoba untuk bertahan, apa lagi pesan dari Pak Lukas, boss di kantornya yang lama, terus membekas di ingatannya.
Kalau kau rasa hidupmu hanya hitam dan putih, nikmati saja karena tanpa kau sadari banyak mereka yang hidupnya full colour, diam-diam menyimpan cemburu padamu.  Begitu Pak Lukas menyemangati Rey.
“Baiklah, baiklah.  Nikmati dan jalani takdirmu sekarang,” keluh Rey malas.
Kali ini diraihnya laptop dari ranselnya.  Dia mencoba memulai kerja di tempat yang terasa begitu asing dan sangat tidak menggairahkan.
Cukup lama dia tenggelam di depan laptopnya, ketika terdengar suara langkah pelan, mendekati mejanya. 
“Mas Rey.”
Suara perempuan  yang terkesan dingin memanggilnya.  
Kepala Rey masih menunduk, tapi kelopak matanya terangkat dan matanya langsung tertumbuk  pada cewek yang tadi dicari-carinya. Tampak cewek itu, berusaha bersikap santai dan menyunggingkan senyumnya yang canggung.
“Oke, aku tahu kamu Ruby.  Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Rey tahu, muka Ruby seketika tercengang.   Mata Ruby yang sipit tampak membulat, dan bibirnya terbuka, melongo.
 Tapi Rey memang  tak  ingin  basa-basi.  Mulai kerja, tentu lebih baik dari pada menghabiskan waktu dengan saling bertanya kabar, dan pertanyaan tak penting lainnya, bukan?
“Apa yang bisa aku bantu?” tanya Ruby, kentara sekali dia masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya dengan sikap Rey.
“Aku enggak bisa ngeprint di sini.   Tolong print saja nota dinas  ini di kertas kop.  Ada di flash disk ini, cari file Peraturan Menteri Penimbusan, dan ini berkasnya,” ujar Rey seraya menyodorkan map warna biru dan benda mungil warna merah.
 “Oh, oke.” Ruby menerima flash disk dan map.  Iseng dibacanya konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.
“Sorry, seharusnya konsep nota dinasnya tidak seperti ini.  Maksudku, format yang biasa di Biro Hukum kita, bukan begini, boleh aku bantu ubah?” tanya Ruby kali ini membuat gantian Rey yang terperangah.
“Oh, begitu ya, silakan saja.  Aku memberi keleluasaan padamu untuk memberi masukan.”
“Oke, maaf, kalau kamu eh, Mas Rey tersinggung,” ujar Ruby pelan.
“Tidak masalah.”
Rey tersenyum kecil saat kemudian  Ruby berbalik dan melangkah menuju mejanya.

***
“Oke, aku tahu kamu Ruby.  Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Ruby ketika dia tengah merapikan konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.  Helloow.... ada ya boss baru bersikap seperti itu.  Huh, ini benar-benar night mare!
“Ini menyebalkan, Tuhaaan!  Aku benci terjebak di sini.  Bos baru ini membuatku semakin ingin keluar dari dunia PNS yang membosankan ini!” Ruby mengeluh dalam hati.
“Tapi ketika aku  memutuskan pergi ke suatu tempat, dan aku  sudah di dalam pesawat, apa bisa aku berubah pikiran dan memutuskan untuk keluar?  Tidak! Yang aku  lakukan, bersabar sampai pesawat menurunkanku.  Lalu setelahnya, barulah aku dapat menentukan pilihanku kembaliBegitu juga hidup, ada kalanya saat-saat tertentu, kau tak bisa memutuskan sesukamu, karena kalau itu kau lakukan, kau pasti mati konyol! Jadi, cobalah jangan cengeng Ruby!” Ruby komat-kamit sendiri dengan gerutuannya.
 “Kalau rumit sehatusnya kamu bilang.”
Kepala Ruby mendongak, dan Rey sudah berdiri di depannya.
“Ini baru lima belas menit, aku butuh waktu untuk memperbaiki konsep itu,” ujar Ruby berdalih.
“Tapi tidak harus lama-lama berpikirnya, bukankah itu sangat sederhana?”  tandas Rey dengan pandangan tajam.
Ruby tergugu.
“Maksudnya apa ya?” tanya Ruby tak bisa menyembunyikan kejengkelannya. 
“Ya, kalau kamu enggak bisa menyelesaikannya, biar aku saja.  Aku pinjam printermu ya,” ujar Rey.
Ruby bergegas berdiri, memberi ruang untuk Rey berjalan dan kemudian duduk di kursinya. 
“Okey, kupikir ini juga sudah sangat sempurna.  Boleh aku diambilkan kertas?”
Ruby mengambil kertas dengan geram dan menaruhnya di bawah printer.
“Oke, terima kasih, Ruby.  Lain kali kerjanya fokus, dan bukan sembari bermain-main dengan mencuri-curi waktu menikmati foto aktor-aktor korea!”
“Aku tidak bermain-main dengan foto-foto itu!”  Ruby menahan geram.
"Lalu apa?"
"Itu untuk pekerjaan pentingku!" tandas Ruby.
"Oh ya? apa itu?"
Ruby menggeram.  Tidak mungkin dia berterus-terang pada si boss sombong ini kalau di tengah kesibukan kantornya, dia tengah menyelesaikan draft novelnya, dan foto-foto itu untuk karakter penting di ceritanya.  Tapi please deh!  Masa dia harus memberi tahu Rey!
"Nah, sekarang tolong cap dan paraf! Lupakan dulu foto aktor-aktor drakor!  Setelah ini, kita siap-siap rapat di Gran Melia!" ujar Rey seraya menyodorkan tiga lembar kertas hasil print-an pada Ruby.
Dan kali ini kalau ada kesempatan, ingin rasanya Ruby melempar Rey ke danau di dekat taman hutan!

***

 #BLOGTOBOOK


Minggu, 22 Januari 2017

Tugas 2 Blog To Book



=================================
Tugas 2 B2B2017 (versi 2)
Objective :

                Bagi Ruby, menulis adalah gairah, impian dan hidupnya.   Ruby membayangkan suatu pagi yang hangat, dia terbangun dari tidurnya, lalu tanpa terburu-buru mengejar bus ke kantor, dia akan duduk di balik meja dapur dan menyeduh teh hangat.  Lalu, sebelum mandi, dia akan menyempatkan diri untuk mengecek draft novelnya, membaca beberapa lembar buku, lalu  mungkin turun ke halaman, menghirup udara pagi yang segar dan menikmati kesibukan orang-orang mengawali pagi.
               
              Tapi, seringnya takdir membawamu bukan ke tempat yang engkau impikan, dan kau tak bisa mengelaknya.   Dan Ruby percaya.  Mungkin memang sebaiknya saat ini dia menikmati apa yang telah digariskan oleh Tuhan untuknya.  Menikmati dunia PNSnya, namun diam-diam merencanakan dan merancang masa depannya sebagai penulis.  Ya hanya Penulis dan meninggalkan profesi PNS yang sudah beberapa tahun ini melabeli dirinya.  PNS, yang membuat mamanya sangat bahagia dan merasa tidak sia-sia menyekolahkan Ruby hingga  meraih gelar master.
                Jadi yang dilakukan Ruby saat ini hanyalah berdamai dengan keadaan sekarang.  Nikmati makanan yang tersaji dan kau akan merasa kenyang.  Karena tokh, untuk menulis sekarang, waktunya sudah sangat sempit.  Dia hanya punya waktu malam sebelum tidur, atau tengah malam setelah dia tidur beberapa jam saja.  Kalau di kantor, dia tak punya waktu sedikitpun.  Ah, bukan tak punya, tapi karena Rey, si boss galak pernah melontarkan kata-kata yang membuat hati Ruby tersentil.
                “Jangan menulis di jam kantor, Ruby, biar berkah!”
                Kata-kata itu dikatakan dengan ekspresi dingin.   Seperti biasa, cara Rey berkata-kata.  Tapi apa isi kata-kata itu sangat menyentuh bagian terdalam hati Ruby.  Rey benar, sangat benar.  Dan kali ini, Ruby mengangguk dan tidak membantah, seperti biasanya juga.
                Masalahnya, Ruby harus terus menulis.  Menulis juga yang mampu mengobati hatinya.  Menulis membuatnya berhenti menangis ketika dulu, seseorang yang sangat dekat dengannya, meninggalkannya.  Menulis membuat Ruby percaya, dia tidak butuh teman untuk berkeluh kesah, dia tidak perlu seseorang untuk berbagi harapan dan impian.  Cukup dengan bermain dengan kata-kata, tenggelam dalam cerita yang diciptakannya, dia akan sanggup melupakan semuanya. Melupakan kesedihan dan bisa bahagia dengan caranya sendiri.  
                Menulis, di sisa waktunya yang sempit.  Padahal impiannya sangat besar.  Novelnya difilmkan, keluar negeri karena menulis, dan mendapat  beasiswa menulis.  Dan Ruby percaya, suatu hari nanti dia akan berhasil mendekap impiannya.  Mengejar impian di tengah kesibukan dan rutinitas.

                  Tanpa Ruby pernah tahu, ketika kemudian, di masa yang akan datang, rutinitas dan kegiatan kantor yang awalnya menyebalkan, bisa menghadirkan dilema baginya.  Ketika suatu hari datang tawaran bermukim di luar negeri untuk melakukan riset menulis, berbenturan dengan tugas kantor, yang diam-diam, tanpa dia sadari, telah memberikan pelangi indah di hatinya.
**





#BLOGTOBOOK




Tugas 2 B2B2017, Blog To Book

Tugas 2 B2B2017

Objective :

===========================
Ada dua impian yang bermain-main di pikiran Ruby sore itu.  Impian yang selalu menyeruak dari dasar hatinya ketika dia sedang sendiri, tanpa teman-teman atau rekan kerjanya.  Seperti kali ini, ketika dia tengah menyusuri pasir basah   Pantai Kuta yang tak pernah lengang di sore hari.  
      Setelah cukup puas bermain-main dengan ombak yang  berkejar-kejaran dan menghempas pasir,  Ruby duduk dengan dagu bertumpu pada  lututnya, di atas pasir yang empuk dan lembab. Menikmati langit jingga, semilir angin, suara ombak, tawa anak kecil yang tengah berlarian, dan berpasang-pasang kekasih yang tampak bahagia.
  “Suatu ketika, novelku bersetting Genewa difilmkan,  dan aku akan bertemu denganmu!” cetus Ruby, senyumnya mengembang. “Lalu aku akan sibuk denganmu, sibuk dengan duniaku yang sebenarnya.”
        Mata Ruby memicing, lalu seolah butir-butir pasir bergerak halus, menari-nari dan membentuk sebuah pola, lalu menjelma menjadi sosok yang kerap membuatnya gagal fokus.  Leo.  Sahabat masa kecilnya, kakak kelasnya dari SD hingga  SMU. Seseorang yang menjadi idola Ruby sejak kecil. 
      Leo yang pintar dan tampan, yang selalu juara kelas, yang santun, yang membuat Mama Ruby sangat menyukainya dan berharap Ruby juga mengikuti jejak Leo, ketika Leo diterima di Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, lalu kemudian menjadi PNS di Kementerian Luar Negeri.  Leo yang kini tengah kuliah di Swiss.    
Dan karena Leo, Ruby belajar sangat keras,  lulus SMU dengan nilai cukup tinggi,  namun harus puas diterima di fakultas Hukum di Universitas Sriwijaya.  Lalu  Ruby belajar seperti orang kesurupan karena dia ingin cepat-cepat kerja di Jakarta dan lebih dekat dengan Leo.  Ruby bahkan nyaris melupakan hobby  menulisnya sejak kecil.   Dan kemudian  setelah lulus kuliah, target Ruby ingin menjadi PNS di Kementerian Luar Negeri pula.  Satu kali dia ikut test Kementerian Luar Negeri, dan gagal.  Namun, tahun berikutnya Ruby berhasil diterima sebagai CPNS, walau bukan di Kementerian Luar Negeri, namun cukuplah membuat mamanya sangat bahagia.  Dan yang terpenting, Ruby akan lebih dekat dengan Leo, karena dia ditempatkan di  Kantor Jakarta.
Ruby ingat ketika Leo menemuinya di hari pertama dia bekerja menjadi CPNS.  Leo memujinya dan membuat Ruby tersanjung.  Sorenya ketika pulang dari kantor, Leo menjemput Ruby dan mereka menghabiskan malam dengan mengobrol di sebuah cafe.  Dan Ruby merasa hari itu menjadi hari yang sangat istimewa baginya.
Untuk beberapa saat lamanya, Ruby dan Leo kerap bersama.  Leo menemaninya ketika Ruby mencari kost yang lebih dekat dengan kost-an Leo, sehingga lebih mudah bagi Leo untuk mengantar dan menjemput Ruby dari kantor.  Bagi Ruby itulah hari-hari terbaiknya.  Hingga kemudian, Leo membawa kabar kalau tak beberapa lama lagi, dia harus pergi  untuk kuliah mengambil gelar master di Universitas Jenewa di kota Jenewa. 
Satu tahun, dua tahun, Ruby menunggu.  Tapi Leo rupanya terus melanjutkan kuliah doktoralnya. Dan Leo, menjadi semakin berjarak.  Memang Leo terus mengirimnya email, dan berjanji suatu waktu akan membawa Ruby bersamanya.  Namun, kapan waktu akan bersahabat dengannya?  Rasa-rasanya, waktu terus bergulir, dan hati Ruby hampir letih karena menunggu.  Dan saat kehilangan Leo, Ruby kembali menciptakan dunianya sendiri, dunia yang sudah lama tidak disentuhnya.  Dia kembali menulis dan menulis. Dia menulis tentang dongeng puteri dan pangeran impian, lalu dia pun menulis tentang Leo, tentang cinta yang rumit.
Leo dan PNS.  Dua itu rasanya seperti saling berangkulan dalam hidupnya.  Padahal, akhirnya Ruby menyadari, dia kini terjebak dalam dunia yang tidak diinginkannya dengan kuat.  Ini hanyalah persinggahan, sebelum dia sampai ke tempat yang sesungguhnya dia ingin tuju.   Ruby hanyalah ingin menghabiskan waktunya dengan menulis.  Menulis dengan hati, menulis apa yang dia suka.  Ruby ingin menulis banyak cerita anak dan remaja.  Impian Ruby ketika namanya tertera di banyak buku, ketika banyak anak-anak dan remaja Indonesia membaca bukunya dan menyukai cerita-ceritanya. 
Tes..tes.. hujan!  Ruby mendongak, langit sudah gelap.  Ruby tersadar, cukup lama dia menghilang.  Sekarang saatnya kembali ke hotel dan mandi.  Pukul tujuh, dia sudah harus duduk di ruang rapat.  Kalau tidak, Rey, boss pemarah  akan memarahinya dan membuatnya malu.
“Arrggh!  Baiklah, sekarang fokus. Kembali kerja!” Ruby beranjak dari duduknya dan menepis pasir-pasir yang menempel di celananya.
Hotel tempat Ruby menginap tidak terlalu jauh dari Pantai Kuta.  Cukup berjalan kaki dan  melintasi beberapa cafe, sampailah dia ke depan bangunan hotel bintang empat,  yang bagian muka bangunan dipenuhi ornamen Bali. 
Ruby baru melangkah masuk ke loby hotel, ketika sepasang mata yang tajam menyambutnya.  Tampak kejengkelan yang super duper memancar dari mata itu, membuat langkah Ruby terhenti.
“Dari mana jam segini?” Rey bertanya dengan muka dingin.
“Pantai, jalan-jalan, kan istirahat,” ujar Ruby.
“Oh, tanpa pemberitahuan!”
“Karena kupikir Mas Rey tidak suka pantai,” ujar Ruby pelan.
“Masalahnya, kamu menyimpan laptopku ke kamarmu, kan?  Dan aku butuh laptop itu segera!”
“Oh, itu, maaf, aku ambilkan sekarang,” ujar Ruby seraya menepuk keningnya. 
“Tidak perlu.  Cepat bersiap-siap.  Setengah jam lagi, aku tunggu di ruang rapat!”
Ruby melongo ketika kemudia Rey berlalu dari depannya dengan langkah-langkah cepat.


#BlogToBook 

Selasa, 17 Januari 2017

TUGAS 1. BLOG TO BOOK.

Tugas 1 B2B2017

Ruby mematut dirinya di cermin.  Ini pukul sepuluh malam.  Dia belum mandi, dan mukanya yang putih tampak kuyu.  Rambut ikal hitam sebahu yang sehari-hari dia ikat dengan karet gelang warna abu-abu, warna favoritnya, kini sudah tergerai lemas.  Ruby menyeringai, lalu membuka lebar-lebar mata sipitnya, sepasang mata yang menjadi senjata Rey, boss di kantornya untuk meledeknya sebagai cewek dengan mata segaris.

“Hoaam!”  Ruby menguap, lalu  menghempaskan tubuhnya yang masih berseragam kantor ke tempat tidur empuk milik hotel bintang empat.  Lalu, seraya menggeliat, dilepaskannya sepatu berhak tujuh centi, yang lumayan cukup menunjang tubuhnya yang mungil, yang tingginya  tak sampai 157 cm,  cukuplah membuatnya bisa tampak sedikit tinggi.

Ini hari kedua Ruby menginap di hotel di bilangan kuningan.  Rapat antar Kementerian yang membahas sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah, telah menyita hari-harinya.  Rasanya sudah berbulan-bulan, dia sangat disibukkan dengan urusan mendrafting, merancang berbagai produk aturan hukum. 

Menyenangkan?  Tentu saja bagi Ruby, hal itu sangat menyenangkan.  Ada kesenangan yang tak bisa dia lukiskan ketika harus berkutat dengan tumpukan pasal-pasal dalam peratuan yang akan disusun.  Namun, ketika moodnya sedang tidak baik, rasanya tidak berdosa bagi Ruby untuk melontarkan satu kata yang kerap melandanya. Bosan!

Ruby sesungguhnya gadis yang sangat bersemangat.  Energinya meluap-luap.  Dia senang bekerja dan belajar.  Dia betah duduk berjam-jam di dalam sebuah rapat, dan senang mendengar ketika para pejabat dan seniornya berdebat.  Ada kenikmatan tersendiri ketika dia menyaksikan masing-masing orang mempertahankan pendapat masing-masing.  Pada saat-saat seperti itu, menjadikan pengalaman berharga bagi Ruby untuk belajar.

Namun, ketika dia tengah merasa bosan, maka duduk sebagai notulen atau sebagai asrot, menjadi siksaan baginya.  Dia harus memasang telinga dan mata yang sangat mengantuk.  Sementara boss nya yang pintar, yang duduk di sebelahnya, akan terus mendelikkan mata tajamnya bila melihat Ruby tidak konsentrasi.  Padahal saat-saat membosankan seperti itu,  pikiran Ruby akan terlempar ke semangkuk es krim cokelat favoritnya, duduk membaca novel anak-anak kesukaannya, dan bekhayal tengah duduk memeluk lutut di hamparan padang rumput.

Lalu, Ruby akan lupa dengan konsentrasinya di tengah ruang rapat.  Kadang dia lupa, layar laptop di hadapannya memampangkan barisan kalimat berisi aturan hukum, bukanlah barisan kalimat manis dan indah yang kerap dia ciptakan menjadi sebuah cerita anak-anak.  Dan kejadian memalukan terjadi barusan, di rapat tadi.  Ketika seharusnya dia menulis satu pasal yang mengatur tentang Pengendalian pencemaran lingkungan, maka kata-kata yang dia ketik adalah mengendalikan hati dan rasa.  Dan Ruby baru tersadar, ketika gelak tawa memenuhi ruangan dan bossnya yang pemarah itu menginjak sepatunya  dan menunjuk pada layar proyektor di depan. 

Dih! Mengingat kejadian memalukan tadi membuat Ruby menggerutu kesal.   Mukanya manyun mengingat semua orang tertawa geli padanya.  Lebih-lebih bossnya yang super galak dan sok tampan itu tak henti-hentinya melihatnya dengan gemas dan ingin menelannya bulat-bulat.  Kalau sudah begitu, Ruby mengutuk dirinya yang terjebak dalam profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil.  Bekerja sebagai analis peraturan perundang-undangan di Biro Hukum, dan menyita waktunya dengan kumpulan orang-orang unik, kalau engga.mau dibilang ajaib di ruangannya.

Bayangkan, dia harus hidup dengan big boss yang panikan, dengan atasan langsungnya yang pemarah dan galaknya ampun-ampun deh. Lalu ada si Givan yang cuek banget, yang selalu menunda kerja dengan berdalih Indonesia masih ada besok pagi, ada juga Dio yang kerap mengajaknya perang, namun ada Dava, sebagai anak manis yang kerap membuatnya bisa menyungging senyum.

Entahlah, kadang Ruby sangat menyukai pekerjaannya,  namun kecintaannya menjadi penulis cerita anak, sesungguhnya lebih membuat hidupnya bergairah.  Namun, sampai saat ini, Ruby tidak bisa memutuskan untuk fokus menulis cerita saja.  Dan, jadilah impiannya masih terkatung-katung hingga saat ini.



 #BLOGTOBOOK