Ruby mematut
dirinya di cermin. Ini pukul sepuluh
malam. Dia belum mandi, dan mukanya yang
putih tampak kuyu. Rambut ikal hitam sebahu yang sehari-hari dia ikat dengan karet gelang warna abu-abu, warna favoritnya,
kini sudah tergerai lemas. Ruby menyeringai,
lalu membuka lebar-lebar mata
sipitnya, sepasang mata yang menjadi senjata Rey, boss di kantornya untuk
meledeknya sebagai cewek dengan mata segaris.
“Hoaam!” Ruby menguap, lalu menghempaskan tubuhnya yang masih berseragam
kantor ke tempat tidur empuk milik hotel bintang empat. Lalu, seraya menggeliat, dilepaskannya sepatu
berhak tujuh centi, yang lumayan cukup menunjang tubuhnya yang mungil, yang
tingginya tak sampai 157 cm, cukuplah membuatnya bisa tampak sedikit
tinggi.
Ini hari kedua Ruby menginap di hotel di bilangan kuningan. Rapat antar Kementerian yang membahas sebuah
Rancangan Peraturan Pemerintah, telah menyita hari-harinya. Rasanya sudah berbulan-bulan, dia sangat
disibukkan dengan urusan mendrafting, merancang berbagai produk aturan hukum.
Menyenangkan? Tentu saja bagi Ruby,
hal itu sangat menyenangkan. Ada kesenangan
yang tak bisa dia lukiskan ketika harus berkutat dengan tumpukan pasal-pasal
dalam peratuan yang akan disusun. Namun,
ketika moodnya sedang tidak baik, rasanya tidak berdosa bagi Ruby untuk
melontarkan satu kata yang kerap melandanya. Bosan!
Ruby sesungguhnya gadis yang sangat bersemangat. Energinya meluap-luap. Dia senang bekerja dan belajar. Dia betah duduk berjam-jam di dalam sebuah
rapat, dan senang mendengar ketika para pejabat dan seniornya berdebat. Ada kenikmatan tersendiri ketika dia
menyaksikan masing-masing orang mempertahankan pendapat masing-masing. Pada saat-saat seperti itu, menjadikan
pengalaman berharga bagi Ruby untuk belajar.
Namun, ketika dia tengah merasa bosan, maka duduk sebagai notulen atau
sebagai asrot, menjadi siksaan baginya.
Dia harus memasang telinga dan mata yang sangat mengantuk. Sementara boss nya yang pintar, yang duduk di
sebelahnya, akan terus mendelikkan mata tajamnya bila melihat Ruby tidak
konsentrasi. Padahal saat-saat
membosankan seperti itu, pikiran Ruby
akan terlempar ke semangkuk es krim cokelat favoritnya, duduk membaca novel
anak-anak kesukaannya, dan bekhayal tengah duduk memeluk lutut di hamparan padang
rumput.
Lalu, Ruby akan lupa dengan konsentrasinya di tengah ruang rapat. Kadang dia lupa, layar laptop di hadapannya
memampangkan barisan kalimat berisi aturan hukum, bukanlah barisan kalimat
manis dan indah yang kerap dia ciptakan menjadi sebuah cerita anak-anak. Dan kejadian memalukan terjadi barusan, di rapat tadi. Ketika seharusnya dia menulis satu
pasal yang mengatur tentang Pengendalian pencemaran lingkungan, maka kata-kata
yang dia ketik adalah mengendalikan hati dan rasa. Dan Ruby baru tersadar, ketika gelak tawa memenuhi
ruangan dan bossnya yang pemarah itu menginjak sepatunya dan menunjuk pada layar proyektor
di depan.
Dih! Mengingat kejadian memalukan tadi membuat Ruby menggerutu kesal. Mukanya manyun mengingat semua orang tertawa
geli padanya. Lebih-lebih bossnya yang super
galak dan sok tampan itu tak henti-hentinya melihatnya dengan gemas dan ingin menelannya bulat-bulat. Kalau sudah begitu, Ruby mengutuk dirinya
yang terjebak dalam profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Bekerja sebagai analis peraturan
perundang-undangan di Biro Hukum, dan menyita waktunya dengan kumpulan orang-orang unik, kalau engga.mau dibilang ajaib di ruangannya.
Bayangkan, dia harus hidup dengan big boss yang panikan, dengan atasan langsungnya yang pemarah dan galaknya ampun-ampun deh. Lalu ada si Givan yang cuek banget, yang selalu menunda kerja dengan berdalih Indonesia masih ada besok pagi, ada juga Dio yang kerap mengajaknya perang, namun ada Dava, sebagai anak manis yang kerap membuatnya bisa menyungging senyum.
Entahlah, kadang Ruby sangat menyukai pekerjaannya, namun kecintaannya menjadi penulis cerita anak, sesungguhnya lebih membuat hidupnya bergairah. Namun, sampai saat ini, Ruby tidak bisa memutuskan untuk fokus menulis cerita saja. Dan, jadilah impiannya masih terkatung-katung hingga saat ini.
Bayangkan, dia harus hidup dengan big boss yang panikan, dengan atasan langsungnya yang pemarah dan galaknya ampun-ampun deh. Lalu ada si Givan yang cuek banget, yang selalu menunda kerja dengan berdalih Indonesia masih ada besok pagi, ada juga Dio yang kerap mengajaknya perang, namun ada Dava, sebagai anak manis yang kerap membuatnya bisa menyungging senyum.
Entahlah, kadang Ruby sangat menyukai pekerjaannya, namun kecintaannya menjadi penulis cerita anak, sesungguhnya lebih membuat hidupnya bergairah. Namun, sampai saat ini, Ruby tidak bisa memutuskan untuk fokus menulis cerita saja. Dan, jadilah impiannya masih terkatung-katung hingga saat ini.
Aaaaak, bagus banget. Mohon bimbingannya ya Mba, aku newbie banget. Baru pengen nulis buku, nggak kaya Mba Ichen yang karyanya udah bejibun! Cool.
BalasHapusHehe masih belum maksimal ini, mbaa Rotun.. tulisan mba di blog malah baguuuus... yuuuk kita saling ngomporin yaa biar tugas kita oke punyaaa hehee ^_^
BalasHapus