BLOG TO BOOK 2017
BAB 1
Pemuda berkemeja
kotak-kotak warna abu-abu dengan ransel
tersampir di pundak, melangkah masuk dengan muka dingin. Langkahnya panjang-panjang dan cepat, seolah
sedang melintasi jalanan yang diguyur hujan deras. Begitu terburu-buru. Namun kemudian di tengah-tengah ruangan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia mematung beberapa detik, menoleh ke kiri
sebelum melayangkan pandangan ke separuh ruangan.
Menyadari
berpasang-pasang mata memandangnya dengan sorot mata bertanya-tanya, dia melempar senyum sekilas, lalu terlontarlah sapaan
irit yang hanya berupa “halo”. Ya, cuma itu keluar dari bibirnya. Lalu rahangnya tampak mengeras. Untuk beberapa saat, waktu seolah berhenti, dan
semua yang ada membeku. Lengang melingkupi ruangan.
Empat
detik...lima detik.... enam detik.... hingga.....
“Maaf,
Mas mencari siapa?”
Akhirnya,
ya pada akhirnya, seorang perempuan paling senior di ruangan itu, Bu Shinta, tersentak
berdiri dan bertanya.
“Oh,
Saya Rey. Mau bertemu Ibu Dyah,”
Cukup
menyebut namanya, lalu hampir semua
orang yang saat itu tengah tertuju padanya,
seketika paham.
“Oh,
Mas Rey.
Ibu Dyah ada di ruangannya. Mari
Saya antar,” ujar Bu Shinta.
Pemuda
itu, Rey, mengangguk. Dia baru saja akan berjalan
mengikuti Bu Shinta, ketika kemudian perempuan berkaca mata itu berbalik.
“Sebentar,
mungkin mbak Ruby bisa mengantar ke dalam,” ujar Bu Shinta. “Mbak Ruby!”
Ruby
terlonjak ketika telinganya mendengar namanya
disebut. Gadis yang mungkin tadi itu hanya satu-satunya yang sibuk dengan dirinya sendiri dan terus
terpekur ke layar komputernya, hingga tidak menyadari kedatangan Rey, kini
memutar kepalanya.
“Ya,
Bu Shinta, kenapa?” tanya Ruby, seraya turun dari kursinya. Lalu matanya beralih ke sosok Pemuda berambut
hitam tebal, dengan sorot mata setajam silet, yang berdiri tercenung di sebelah
Bu Shinta.
“Ini
Mas Rey, Mbak Ruby mau menemani ke ruangan Bu Dyah?” tanya Bu Shinta.
Rey. Nama itu cukup sering disebut oleh teman-teman di ruangannya beberapa hari
belakangan ini. Mata Ruby memicing, lalu
serta merta kepalanya menggeleng setelah melihat sorot mata aneh Pemuda itu
terpaku padanya.
“Ibu Shinta saja ya, aku diburu-buru kerjaan. Hari ini mau pulang tepat waktu. Kalo telat,
ih, Bu Dyah bisa ngajak pulang malam,” tolak Ruby, membuat kening Rey tampak
berkerut dan sorot matanya kian menusuk di mata Ruby.
Rey
tampak menoleh ke Bu Shinta sebentar, pandangannya bertanya-tanya kenapa harus
gadis bermata segaris itu yang mengantarnya ke ruangan Bu Dyah? Lalu kembali menoleh, memandang lurus-lurus
pada Ruby.
Kepala Ruby mendongak, berusaha menafsirkan apa yang ada
di kepala Rey. Tapi selang dua detik, Ruby melihat
seringai muncul dari bibir Rey, dan mata Rey tampak terang-terangan tertuju ke layar komputer yang hanya tertutup sebagian oleh badan Ruby yang
mungil.
Oh tidak! Ruby
terkesiap. Matanya mebulat. Bukankah tadi saat Bu Shinta memanggilnya,
dia tengah mencari-cari foto untuk karakter novelnya. Dan kini, lihatlah, foto Park Bo-gum, pemeran
karakter Lee Yeong di drama korea Moonlight Drawn by Clouds, tampak jelas
terpampang.
“Eh, aku,” Ruby tak meneruskan kata-katanya, karena Rey makin
mengerutkan dahinya, hingga kedua alisnya yang hitam melengkung nyaris bertemu.
Sukses sudah, Ruby telah jelas sekali berbohong dengan berdalih sibuk. Aha, mungkin memang sibuk! Tapi sibuk dengan foto-foto aktor korea.
Shit!
“Oh ya sudah,” ujar Ibu Shinta cepat, lalu mengajak Rey,
dan berjalan menuju ke arah sebuah pintu
yang tengah tertutup yang berada di ujung
ruangan.
Ruby terhenyak. Lalu
dia meloncat duduk bersila di kursinya, dan jari-jarinya memutar mouse. Tak beberapa lama, layar komputer memampangkan sebuah website yang berisikan nama-nama
Pejabat Eselon III dan Eselon IV yang baru dilantik seminggu yang lalu di
Kementeriannya.
Mata Ruby mulai mencari-cari. Satu nama yang akhirnya cukup
menyita perhatiannya, dari deretan nama-nama aktor korea yang selama ini menguasai isi kepalanya.
Ini dia. Reykhand Darren
A. Kepala Sub Bagian Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Bagian Perundang-Undangan
II.
“Okey, kelar hidup gue!” Ruby bergumam, lalu matanya melotot
saat melihat ke barisan angka tertera sebagai Nomor Induk Pegawai orang yang
bernama Rey itu. NIP yang empat angka
pertama menandakan tahun kelahiran.
“Bagus. Dia bossku, dan dia lebih muda dariku! ” Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya. Terbayang sudah, hubungan kerja seperti apa
yang akan menyongsongnya mulai hari ini.
***
Rey mendengus.
Bosan sekali dia dengan rutinitas hari ini. Setelah berkenalan dengan karyawan di unit kerjanya yang baru, dia merapikan
mejanya sebentar. Kini, seraya duduk bersandar di kursinya, dari dinding kaca di belakang
mejanya, pandangan Rey terlempar pada pohon-pohon besar di taman di bawah sana.
Mungkin bila
hatinya sedang senang, pemandangan di luar akan lebih menyenangkan. Taman hutan terlihat segar dan adem. Mungkin, nanti bila jenuhnya tak tertahankan,
dia akan turun ke sana, mengitari taman
hutan dan mengobrol dengan pohon-pohon yang berbatang besar itu.
Bosan memandang keluar, Rey memutar kursinya. Dari balik partisinya, mata Rey kini
mencari-cari sosok cewek berambut sebahu yang kemarin sibuk dengan drama
koreanya, lalu menghilang dari kursinya,
ketika dia keluar dari ruangan Bu Dyah.
Dan pagi ini, cewek itu pun belum muncul. Padahal katanya Bu Dyah, cewek yang bernama
Ruby itu, akan menjadi stafnya.
“Oke kesulitan pertama di depan mata!” cetus Rey jengkel.
”Punya team yang suka menghilang seperti siluman!”
Ruangan masih lengang.
Entah pada ke mana orang-orang dalam ruangan ini. Kecuali Bu Dyah yang pamit pada Rey untuk
rapat, sisanya Rey tidak tahu-menahu.
Mungkin Kasubag yang lain tengah
rapat? Atau malah enak-enakan sarapan di
kantin? Ah, masa bodohlah, Rey bersikap
tidak peduli.
Rey merasa hidupnya sangat tidak berwarna akhir-akhir
ini. Hitam dan putih. Dan sekarang, dia terlempar ke warna yang
paling suram. Dan ini sangat
memuakkan. Tapi Rey mencoba untuk
bertahan, apa lagi pesan dari Pak Lukas, boss di kantornya yang lama, terus
membekas di ingatannya.
“Kalau kau rasa hidupmu
hanya hitam dan putih, nikmati saja karena tanpa kau sadari banyak mereka yang
hidupnya full colour, diam-diam menyimpan cemburu padamu.” Begitu Pak Lukas menyemangati Rey.
“Baiklah, baiklah.
Nikmati dan jalani takdirmu sekarang,” keluh Rey malas.
Kali ini diraihnya laptop dari ranselnya. Dia mencoba memulai kerja di tempat yang
terasa begitu asing dan sangat tidak menggairahkan.
Cukup lama dia tenggelam di depan laptopnya, ketika
terdengar suara langkah pelan, mendekati mejanya.
“Mas Rey.”
Suara perempuan yang terkesan dingin memanggilnya.
Kepala Rey masih menunduk, tapi kelopak matanya terangkat
dan matanya langsung tertumbuk pada
cewek yang tadi dicari-carinya. Tampak cewek itu, berusaha bersikap santai dan
menyunggingkan senyumnya yang canggung.
“Oke, aku tahu kamu Ruby.
Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Rey tahu, muka Ruby seketika tercengang. Mata Ruby yang sipit tampak membulat, dan
bibirnya terbuka, melongo.
Tapi Rey
memang tak ingin basa-basi.
Mulai kerja, tentu lebih baik dari pada menghabiskan waktu dengan saling
bertanya kabar, dan pertanyaan tak penting lainnya, bukan?
“Apa yang bisa aku bantu?” tanya Ruby, kentara sekali dia
masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya dengan sikap Rey.
“Aku enggak bisa ngeprint di sini. Tolong
print saja nota dinas ini di kertas kop. Ada di flash disk ini, cari file Peraturan
Menteri Penimbusan, dan ini berkasnya,” ujar Rey seraya menyodorkan map warna
biru dan benda mungil warna merah.
“Oh, oke.” Ruby
menerima flash disk dan map. Iseng
dibacanya konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey.
“Sorry, seharusnya konsep nota dinasnya tidak seperti
ini. Maksudku, format yang biasa di Biro
Hukum kita, bukan begini, boleh aku bantu ubah?” tanya Ruby kali ini membuat gantian
Rey yang terperangah.
“Oh, begitu ya, silakan saja. Aku memberi keleluasaan padamu untuk memberi
masukan.”
“Oke, maaf, kalau kamu eh, Mas Rey tersinggung,” ujar
Ruby pelan.
“Tidak masalah.”
Rey tersenyum kecil saat kemudian Ruby berbalik dan melangkah menuju mejanya.
***
“Oke, aku tahu kamu Ruby.
Kamu bisa bantu aku sekarang?”
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Ruby ketika dia
tengah merapikan konsep nota dinas yang dibuat oleh Rey. Helloow.... ada ya boss baru bersikap seperti
itu. Huh, ini benar-benar night mare!
“Ini menyebalkan, Tuhaaan! Aku benci terjebak di sini. Bos baru ini membuatku semakin ingin keluar
dari dunia PNS yang membosankan ini!” Ruby mengeluh dalam hati.
“Tapi ketika aku memutuskan pergi ke suatu tempat, dan aku sudah di dalam pesawat, apa bisa aku berubah pikiran dan
memutuskan untuk keluar? Tidak! Yang aku lakukan, bersabar
sampai pesawat menurunkanku. Lalu setelahnya,
barulah aku dapat menentukan pilihanku kembali. Begitu
juga hidup, ada kalanya saat-saat tertentu, kau tak bisa memutuskan sesukamu,
karena kalau itu kau lakukan, kau pasti mati konyol! Jadi, cobalah jangan
cengeng Ruby!” Ruby komat-kamit sendiri dengan gerutuannya.
“Kalau rumit sehatusnya kamu bilang.”
Kepala Ruby mendongak, dan Rey sudah berdiri di depannya.
“Ini baru lima belas menit, aku butuh waktu untuk
memperbaiki konsep itu,” ujar Ruby berdalih.
“Tapi tidak harus lama-lama berpikirnya, bukankah itu
sangat sederhana?” tandas Rey dengan
pandangan tajam.
Ruby tergugu.
“Maksudnya apa ya?” tanya Ruby tak bisa menyembunyikan
kejengkelannya.
“Ya, kalau kamu enggak bisa menyelesaikannya, biar aku
saja. Aku pinjam printermu ya,” ujar Rey.
Ruby bergegas berdiri, memberi ruang untuk Rey berjalan
dan kemudian duduk di kursinya.
“Okey, kupikir ini juga sudah sangat sempurna. Boleh aku diambilkan kertas?”
Ruby mengambil kertas dengan geram dan menaruhnya di
bawah printer.
“Oke, terima kasih, Ruby.
Lain kali kerjanya fokus, dan bukan sembari bermain-main dengan mencuri-curi waktu
menikmati foto aktor-aktor korea!”
“Aku tidak bermain-main dengan foto-foto itu!”
Ruby menahan geram.
"Lalu apa?"
"Itu untuk pekerjaan pentingku!" tandas Ruby.
"Oh ya? apa itu?"
Ruby menggeram. Tidak mungkin dia berterus-terang pada si boss sombong ini kalau di tengah kesibukan kantornya, dia tengah menyelesaikan draft novelnya, dan foto-foto itu untuk karakter penting di ceritanya. Tapi please deh! Masa dia harus memberi tahu Rey!
"Nah, sekarang tolong cap dan paraf! Lupakan dulu foto aktor-aktor drakor! Setelah ini, kita siap-siap rapat di Gran Melia!" ujar Rey seraya menyodorkan tiga lembar kertas hasil print-an pada Ruby.
"Lalu apa?"
"Itu untuk pekerjaan pentingku!" tandas Ruby.
"Oh ya? apa itu?"
Ruby menggeram. Tidak mungkin dia berterus-terang pada si boss sombong ini kalau di tengah kesibukan kantornya, dia tengah menyelesaikan draft novelnya, dan foto-foto itu untuk karakter penting di ceritanya. Tapi please deh! Masa dia harus memberi tahu Rey!
"Nah, sekarang tolong cap dan paraf! Lupakan dulu foto aktor-aktor drakor! Setelah ini, kita siap-siap rapat di Gran Melia!" ujar Rey seraya menyodorkan tiga lembar kertas hasil print-an pada Ruby.
Dan kali ini kalau ada kesempatan, ingin rasanya Ruby
melempar Rey ke danau di dekat taman hutan!
***
#BLOGTOBOOK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar