Bab II
Pernah
enggak kamu berandai-andai, suatu hari terjebak di dalam lift berdua saja sama Ji
Cang Wook atau Soo Jong Ki? Cuma kamu
dan dia. Kamu pasti panik tapi enggak bikin frustasi. Yang ada sih kamu senang dan ingin berlama-lama, kalau
perlu liftnya tidak terbuka satu minggu, itu kalau kamu punya
bekal makanan dan minuman yang cukup dan mikir enggak perlu ke toilet
hehehe. Dan… itulah yang Ruby khayalkan terjadi padanya di
siang bolong ini, ketika matanya memandang lurus-lurus jalanan yang
macet di depannya.
Masalahnya
sedikit saja dia menoleh ke kanan, impian itu menjadi mimpi buruk. Mana ada si Ji Cang Wook yang tengah tersenyum
hangat atau Soo Jong Ki yang memandangnya dengan lembut! Yang ada justru si boss
galak yang dari tadi menggembok bibirnya dan membuang kuncinya ke
laut.
Ini
sudah lima puluh menit.
Bayangkan berdua saja di dalam
HR-V hitam yang dikemudikan oleh
Rey, tanpa ada obrolan atau
basa-basi apalah, bagi Ruby sungguh lebih menyiksa dari pada terkurung dalam lift bareng monster
Tao tie seperti dalam film the great wall yang Ruby tonton bareng Dava minggu
lalu.
Rasanya
begitu canggung berada dalam kondisi seperti ini.
Ini sungguh enggak asyik. Tapi mau memulai permbicaraan, dih,
sorry saja ya,..
Ruby mikir jutaan kali untuk melakukannya.
Jadi dia biarkan suasana lengang kayak kuburan sampai telinganya
mendengar suara ponsel berbunyi. Ponsel Rey.
Ruby tak peduli
ketika terdengar suara Rey untuk pertama kalinya terhitung nyaris satu jam yang
lalu. Tapi, sebentar! Rey bicara dengan suara yang....
lembut! Sungguh, kata-kata yang keluar
dari mulut Rey sangat hangat. Rey hanya
berbicara sebentar, mengatakan sedang menyetir dan akan menghubungi si
penelepon itu lagi. Memang Rey tak
menyebut nama, tapi Ruby yakin, yang menelepon tentunya perempuan.
“Bisa juga
dia ngomong kayak orang normal! Pasti pacarnya yang menelepon!” pikir
Ruby dengan bibir mencibir. Tapi sejurus
kemudian dia teringat kata-kata Dio padanya kemarin
sore.
“Lo tahu
enggak, kak Ruby, cowok
bengis kayak Mas Rey biasanya jones, si jomblo ngenes! Jangankan
cewek, kucing betina aja melipir
kalau ada dia,” ujar Dio kemarin siang.
Ruby
tertawa cekikikan mendengar kata-kata Dio
saat itu. Hihi… untuk
urusan si boss galak, dia dan Dio bisa kompakan. Biasanya yang ada kan cuma perang, ribut
melulu. Berisik.
“Sebentar
lagi kita sampai, kamu cek rapatnya di gedung mana ya”
“Hah?”
Ruby menoleh kaget karena tiba-tiba si
boss galak berbicara. Itu bicara padanya
kan? Bukan sedang bicara di telepon?
“Lihat undangan rapatnya, di mana tempat
rapatnya,” ujar Rey dengan suara yang kentara sekali tampak gemas.
Ruby buru-buru
membuka tasnya, mencari lembaran kertas dari balik tumpukan buku-buku. Tapi kok enggak ada ya?
Di
sebelahnya, dari ekor matanya, Rey
mengernyitkan dahi, bingung dengan tumpukan buku Ruby keluarkan dari
tasnya. Lihat, ada
novel-novel tebal segala! Pantas saja tas Ruby begitu menggembung. Rey sempat
berpikir, barang penting apa yang dibawa-bawa Ruby.
“Di
mana?”
“Umm….
Sebentar….”
Terdengar
decakan tidak sabar dari mulut Rey.
Mobil sudah masuk ke dalam Kementerian Hukum dan HAM dari tadi, dan
tinggal mencari tempat parkiran.
“Mas
Rey, undangannya ketinggalan,” ujar Ruby pelan.
Rey
menoleh gusar.
“Kamu
punya kontak person yang mengundang?”
Ruby menggeleng. Masalah yang akan dirapatkan ini baru, dan
dia belum sempat mendapatkan kontak person dari pihak pengundang.
“Aku
turun di sini saja, nanti aku cari ruang rapatnya di mana. Nanti aku telepon
Mas Rey,” ujar Ruby akhirnya.
“Begitu?
Dengan tas menggembung, kamu mondar-mandir ke sana ke mari?” Rey berkata sinis.
Ruby
menggigit bibirnya, bingung berkata-kata.
“Kemungkinan
besar rapatnya di gedung Dirjen KI. Nanti bisa nanya lagi di sana,” lanjut Rey,
sedikit melunak.
“Iya,”
Ruby menjawab pelan.
“Kalau
mau menerima saran, barang yang tidak penting, keluarkan saja dari tas dan
taruh di mobil,” ujar Rey dengan suara
datar.
“Barang
tidak penting?” Ruby bertanya bingung.
“Novel-novel
kamu,” cetus Rey kalem.
Seketika
Ruby paham. Rey pasti melihat novel yang terselip di tumpukan buku-buku aturan
di dalam tasnya. Tapi tidak penting,
katanya tadi? Ruby menggaruk-garuk
pipinya mulai depresi.
***
Rapat kali ini tentang Indikasi
Geografis. Tapi mengapa rasanya seperti
semua orang dari lima kementerian dikumpulkan hanya untuk
mendengarkan
rayuan salah satu menteri untuk meng-gol-kan MoU yang benar-benar enggak
penting. Sedari tadi Ruby memperhatikan Rey bergumam tidak jelas saat membolak-balik
lembaran Mou.
“Aku pendapatmu dengan MoU ini?”
tanya Rey tiba-tiba, persis di saat Ruby
tengah memperhatikan
kerutan di kening Rey yang selalu muncul bila Rey tengah berpikir serius.
Ruby baru mau berbicara ketika
terdengar seorang pemuda menginterupsi diskusi.
Kepala Rey memutar dan matanya memandang lurus-lurus ke pemuda itu, yang dengan dagu
mendongak tampak ingin mendominasi ruang rapat.
Bahkan tak segan-segan dia mengatasnamakan Menteri di tempatnya
bekerja, dan
enggak peduli sama pendapat orang lain, ketika ada peserta lain yang meminta
penjelasan.
“ini sudah arahan
Menteri saya!” kata-kata itu menjadi senjatanya. Mungkin itu bahasa pamungkas yang dia punya
yang selalu diulang-ulang ratusan kali.
Ruby menahan napas saat melihat Rey
menegakkan punggungnya, kakinya mulai menghentak-hentak halus seperti sedang
bermain drum, dan tangan kirinya memutar-mutar pulpen. Setelah beberapa kali ikut rapat bersama bossnya ini, Ruby mulai
menangkap gesture itu sebagai pertanda kalau Rey geram ingin bersuara.
“Boleh
Saya merespons apa yang baru Mas sampaikan?” tanya Rey masih kalem.
“Silakan,” ujar pemuda itu.
Rey bersandar di kursinya dan mulai
bicara. Gaya Rey begitu santai dan
sangat tidak terpengaruh dengan pandangan meremehkan pemuda di depannya.
Sepuluh menit Rey berbicara. Mau tak mau bibir Ruby menyunggingkan
senyum. Cara Rey berkata-kata
benar-benar lugas, terdengar halus namun penuh penekanan. Selalu saja ada kata “kan ya” di akhir
kalimatnya. Ruby diam-diam terkikik,
saat melihat muka pemuda yang tadi
sok paling
benar di ruang rapat ini, berbalik gelisah dan mulai terpancing.
Sejurus
kemudian, pemuda
itu tampak tak sabar ingin menimpali.
“ini sudah arahan Menteri saya!” Pemuda itu memotong kata-kata Rey. Dan lagi-lagi
kalimat pamungkas itu keluar untuk menyudutkan Rey, meskipun kali ini
terdengar seperti orang yang kehilangan rasa percaya diri.
Rey
berdehem dan
mukanya berubah serius.
“Mas, kalau argumennya cuma itu-itu aja,
berarti rapat ini cuma sekedar makan siang bersama, enggak perlu ada diskusi!” tandas Rey
seraya mengetuk
nasi kotak yang
ada di depannya.
Ruang rapat yang tadinya hening karena pembicaraan terpusat antara Rey dan pemuda itu, langsung dipenuhi
tawa para peserta lain.
“Naahh... keluar juga aslinya si
Boss,” batin Ruby dengan mulut
ternganga. Sungguh tak percaya
dia dengan apa yang baru saja Rey ucapkan.
Ruby terpaksa harus mengakui itu kali
pertama dia mendengar ada orang yang berani bicara frontal di tengah forum
resmi seperti ini.
“Cool...!”
Ruby bergumam, dan dia merasa sangat
lucu.
***